MULAN Bab 3

Liong adalah utusan
Ia temurun Dewata dari langit
Turun ke bumi atas nama cinta
ketika wangi darah
telah memekarkan kebatilan di tanah ini

- Bao Ling
Liong

Waktu itu musim gugur di Tionggoan.
Rerumpun bambu tampak merontokkan dedaunan, memetafora tetanah selaksana hamparan karpet beledu raksasa berwarna marun dari kejauhan.

Lalu, ada derap-derap langkah kaki kuda memecah kesunyian hutan bambu. Bangkai dedaunan beterbangan di belakang penunggang kuda dengan sampiran pedang di belakang punggungnya. Shan-Yu masih berusaha mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan. Inilah upaya terakhirnya untuk menunaikan dendam yang telah berkecamuk sekian tahun di benaknya.

Lima tahun lalu, ia merasa dikhianati oleh Kaisar Yuan Ren Zhan. Jenderal perang yang sudah mengabdi selama puluhan tahun itu, bahkan pada saat kekuasaan masih dipegang oleh ayahanda Sang Kaisar, Yuan Ren Xing - penerus kekaisaran Dinasti Yuan dari generasi kedua. Ia merasa Kaisar Yuan Ren Zhan telah berlaku tidak adil terhadapnya. Pembagian wilayah kekuasaan per provinsi yang dipimpin oleh seorang puak Istana - yang biasa disebut Kaisar Kecil di Tionggoan - itu ternyata tidak menyenangkan hatinya.

Shan-Yu merasa telah disepelekan dengan pemberian wilayah kekuasaan daerah-daerah tandus di sebelah utara. Sementara Pangeran Yuan Ren Qing, adik Sang Kaisar mendapat tempat daerah-daerah subur sebagai wilayah kekuasaannya di sebelah selatan.
Dianggapnya hal itu merupakan ketidakadilan yang menimbulkan kecemburuan status. Padahal menurutnya, selain berfoya-foya dan berhura-hura, Pangeran Yuan Ren Qing tidak memiliki kapabilitas apa-apa sebagai abdi negara yang baik. Ia mengajukan protes kepada Sang Kaisar, yang ditingkahi dengan pembangkangannya melalaikan tugas menjaga binara-binara di pos pengawasan Tembok Besar dari gangguan militan nomad Mongol. Saat itu Dinasti Yuan memang tengah menghadapi pemberontakan kecil dari musuh gurun pimpinan Temujin dan anak angkatnya, Kao Ching, yang masih mengembara dengan kekuatan kecil. Juga suku-suku Han yang mengklaim Tionggoan sebagai negara moyang dan leluhur mereka, yang terpampas oleh bangsa Yuan.

Kaisar Yuan Ren Zhan murka luar biasa. Tembok Besar yang berhasil dilintasi oleh beberapa pemberontak karena kurangnya pengawasan para prajurit pimpinan Shan-Yu telah mencoreng nama baik Dinasti Yuan. Selama ini Tembok Besar dianggap merupakan benteng terkuat di dunia. Tidak ada kerajaan manapun yang pernah berhasil melewati bangunan mahapanjang yang menutupi perbatasan Tionggoan dengan Mongolia itu.

Namun kejadian memalukan itu telah meruntuhkan martabat Sang Kaisar. Terlebih-lebih ketika pejabat dan petinggi di negara-negara putih Barat telah mendengar kejadian miris itu. Pasti akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan di seluruh dunia. Maka dengan legitiminasinya sebagai panglima tertinggi angkatan perang Yuan, juga sebagai kaisar dari generasi ketiga Dinasti Yuan, maka Shan-Yu diberhentikan dari tugasnya sebagai jenderal dan pemimpin Angkatan Perang Tionggoan!
Tetapi mengingat jasa-jasa pengabdiannya selama ini, Shan-Yu masih diberi muka dengan ditugaskan sebagai wedana di pusat logistik militer Yuan di Yunan. Dengan begitu, praktis ia tidak punya kendali apa-apa atas militer Yuan lagi.
Shan Yu mendendam.

Dan ia menyusun siasat makar untuk melumpuhkan militer Yuan dengan bergabung diam-diam ke pihak pemberontak pimpinan Han Chen Tjing. Selama beberapa tahun, ia tetap sabar menjalankan tugasnya sebagai wedana di Yunan. Karena dari tugasnya tersebut, ia dapat dengan leluasa mengatur dan memainkan pasokan logistik bagi prajurit-prajurit Yuan di Ibukota Da-du dan daerah-daerah perbatasan Tionggoan-Mongolia.
Bukan itu saja. Ia pun telah bersekongkol dengan kalangan pemberontak Han untuk mencuri beras-beras berkualitas unggul, dan hanya menyisakan beras-beras bermutu rendah untuk prajurit-prajurit Yuan.

Pangkal pembelotannya telah menyebabkan melemahnya fisik prajurit-prajurit Yuan secara tidak langsung. Dan justru sebaliknya, merupakan kekuatan untuk kaum pemberontak Han yang mulai mengatur strategi penyerangan tak terduga suatu saat. Dalam masa-masa transisinya itulah Shan-Yu banyak memaparkan kelemahan militer Yuan. Juga titik-titik kekuatan dari prajurit-prajurit Kaisar Yuan Ren Zhan kepada Han Chen Tjing.
Shan-Yu juga menyerahkan peta-peta yang merupakan titik sentrum kekuatan militer Yuan. Kekuatan militer Yuan berasal dari atas bukit-bukit di sepanjang perbatasan Tembok Besar. Dari arah atas bukit, mereka memiliki dua ratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang bersenjatakan busur-busur dengan anak-anak panah beracun. Racun mahamematikan tersebut berasal dari Lembah Dewi Racun, daerah ngarai terpencil yang sudah lebih dari seabad ditempati oleh rahib-rahib perempuan beraliran Taoisme bernama Go Mei. Daerah lembah itu banyak ditumbuhi persik dari berbagai jenis, juga aneka tanaman berbisa seperti Mawar Berbisa dan Yang-liu Berbisa yang memiliki unsur racun mematikan.

Penyerangan dari lembah menuju bukit perbatasan Tembok Besar sama juga bunuh diri. Karenanya, ia menyarankan untuk tidak menyerang dari sana. Tetapi memutar arah ke utara, menyeberangi Danau Baikal di perbatasan Mongolia, dan menyerang dari arah belakang setelah melewati Sungai Onon.
Daerah titik penyerangan yang dimaksud memang tidak terlalu terkawal. Selain dianggap tidak strategis, gigir Sungai Onon juga diabaikan karena terlalu deras untuk dilalui. Pos-pos penjagaan di daerah itu hanya diawasi tidak lebih dari seribu prajurit Divisi Infanteri. Melumpuhkan prajurit jaga itu sama mudahnya dengan memitis mati seekor kutu. Strategi itulah yang akan digunakan untuk menyerang Dinasti Yuan tidak lama lagi setelah mereka berhasil menggalang dan menghimpun kekuatan besar.
Meski memiliki banyak sumber daya manusia, tetapi pasukan pemberontak Han tidak didukung oleh fasilitas persenjataan yang memadai. Untuk menghadapi prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh, mereka memang harus menerapkan strategi jitu. Bertarung secara frontal dan terbuka dengan pasukan berpanah tersebut sama halnya dengan mengirim nyawa.

Itulah yang dipikirkan Shan-Yu sebagai antisipasi sebelum menyerang Ibukota Da-du, di mana Kaisar Yuan Ren Zhan berdiam. Maka setelah merenung, ia mengusulkan kepada Han Chen Tjing sang Pemimpin Han untuk menyiapkan dan membuat zirah tameng buat pasukan Han nantinya. Zirah yang dimaksud adalah baju-baju seragam yang terbuat dari lempengan-lempengan kulit kayu pohon mahoni, yang menutup nyaris seluruh tubuh kecuali wajah para serdadu.
Cara itu dianggap efektif dan efisien untuk melawan prajurit Yuan, khususnya dari Divisi Kavaleri Danuh yang berdeterminasi tinggi. Selain itu, zirah tersebut bisa dibuat secepat mungkin dengan biaya sedikit. Semua serdadu Han dipersenjatai dengan tombak sepanjang dua meter, dan dilengkapi dengan sebuah tameng kayu elips yang terikat di lengan kiri sebagai penahan gempuran anak-anak panah beracun.
Tentu saja piranti persenjataan sederhana itu dianggap terbaik untuk dapat menandingi kehebatan prajurit Yuan dari Divisi Kavaleri Danuh. Pasalnya, lesatan anak-anak panah beracun tersebut tidak akan langsung menembusi tubuh pasukan Han.
Selain diharapkan meleset, anak-anak panah yang ditembakkan itu akan menancap pada zirah pasukan Han. Memang itulah sebagian dari strategi yang telah dipikirkan Shan-Yu jauh-jauh hari. Setelah itu, perlahan tetapi pasti mereka akan bergerak maju sembari menghabiskan semua persediaan anak-anak panah prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh tersebut.

Shan-Yu tersenyum dengan rupa menang.
Tepat pada saatnya nanti, pasukan Han akan menyerang frontal dan besar-besaran seperti sekawanan semut merah yang merayapi Tembok Besar dan mengarungi Sungai Onon - kemudian mendaki bukit-bukit Tung Shao untuk memangsa dengan ganas prajurit-prajurit Yuan.
Ia terbahak dengan suaranya yang khas.
Melengking menembusi dinding-dinding angkasa.
Diangkatnya pedang ular peraknya tinggi-tinggi. Diacung-acungkan dan diputar-putarkannya seperti propeler sampai dedaunan yang mengerontang di tanah beterbangan membentuk pusaran selebar kubah Istana Da-du.
Kaisar Yuan Ren Zhan pasti tamat!

Bersama Shang Weng, Fa Mulan baru saja berhasil memukul mundur pasukan Han yang menyemut di sebelah utara perbatasan Mongolia, di daerah gigir Sungai Onon. Mulanya, prajurit-prajurit Yuan dari Divisi Infanteri sudah tidak sanggup membendung kekuatan musuh yang terus membengkak. Untung bala bantuan dari Ibukota Da-du datang meskipun telat seminggu. Berkat kecerdikannya pula, Fa Mulan berhasil mengelabui musuh dengan taktik kamuflasenya. Kuda-kuda tanpa penunggang berjumlah ribuan ribu dengan prajurit-prajurit Divisi Kavaleri Danuh di depan membentuk pagar betis, telah menakuti pihak musuh. Taktik okhlosofobia yang jitu. Pasukan pemberontak Han mundur, menyangka Fa Mulan telah membentengi Tung Shao dengan ratusan ribu prajurit Yuan.
Sebelumnya, kurang lebih lima bulan lalu, di sebelah selatan dekat perbatasan Tembok Besar, prajurit-prajurit Divisi Kavaleri Danuh sudah dilumpuhkan oleh pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing. Mendengar kabar tersebut dari seorang prajurit intelijen, Fa Mulan nyaris berputus asa kala itu. Sama sekali tidak menyangka kekuatan raksasa prajurit Divisi Kavaleri Danuh dapat takluk dengan mudah. Tentu ada kekuatan tersembunyi pasukan pemberontak Han yang tidak diketahui para jenderal pakar stategi perang Yuan.
Mereka kecolongan!

Ia menggeram. Ia sendiri sebetulnya sudah kewalahan menghadapi pasukan Han yang dipimpin Shan-Yu di kaki bukit Tung Shao, sebuah daerah perbukitan yang ditimbuni salju setiap menjelang musim gugur. Selain karena hanya memiliki jumlah prajurit yang sedikit, daerah di sebelah utara perbatasan Mongolia itu sama sekali tidak terkawal oleh prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh - yang termasuk dalam jajaran pasukan elit Yuan. Di bukit-bukit Tung Shao hanya terlihat barak-barak prajurit Divisi Infanteri yang tidak terlalu tangguh. Menyadari hal itu, ia segera mengambil inisiatif melalui Shang Weng untuk meminta pusat militer di Ibukota Da-du mengirimkan prajurit elit guna melapisi zona tempur Tung Shao.
Jenderal Gau Ming di Ibukota Da-du mulanya menolak permintaan pimpinan Kamp Utara itu. Alasannya, daerah selatan perbatasan Tembok Besar lebih memerlukan kehadiran prajurit-prajurit elit tersebut. Dengan dimutasikannya beberapa ribu prajurit dari daerah perbatasan itu, maka kekuatan yang diprakirakan dapat membendung gempuran pasukan pemberontak Han akan kewalahan.

Satu bulan kawat yang dikirimkannya melalui Bao Ling, Prajurit Kurir gesit berwushu tinggi mengambang tanpa balas. Rupanya jenderal pakar strategi perang itu tidak menyetujui permintaannya. Namun pada bulan kedua, setelah prajurit-prajurit Yuan mulai kewalahan, maka dikirimlah bala bantuan para prajurit elit tersebut. Bukan mutasi dari medan pertempuran di perbatasan Tembok Besar. Tetapi langsung dari Ibukota Da-du dengan risiko kekuatan tempur di Ibukota Da-du berkurang!
Jenderal Gau Ming sama sekali tidak menyangka pasukan pemberontak Han akan menyerang dari arah belakang melalui gigir Sungai Onon. Pasukan pemberontak Han pasti memiliki penasehat militer yang berotak cemerlang, pikirnya. Berlapis-lapis prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh dapat tumbang hanya dalam tempo enam bulan. Sesuatu hal yang rasanya muskil bagi pemberontakan rakyat jelata pimpinan Han Chen Tjing yang, tidak memiliki fasilitas memadai untuk membentuk militer handal.
Para pakar strategi perang Yuan memang tidak menyadari hal sepele tersebut. Fa Mulan sejak jauh-jauh hari telah menyadari kalau hal sepele itu dapat mendatangkan masalah besar. Hal itu terbukti ketika pasukan pemberontak Han perlahan-lahan telah menapak masuk ke wilayah kekuasaan Yuan.

Keterangan :

Liong = Naga.
Temujin = Nama kecil Genghis Khan.
Kao Ching = Pendekar Danuh, anak angkat Genghis Khan yang akhirnya membelot setelah Mongolia berhasil mengusai Tionggoan.
Persik = Prunus persica.
Sam Kok = Epos Tiga Kerajaan yang mashyur di Tiongkok, mengisahkan kepahlawanan Guan Yu yang sangat dihormati dan dipuja para Konfusiunisme - beberapa ribu tahun yang lalu, Guan Yu Sang Jenderal Besar Konfusius ini pernah terkena panah musuh dengan racun serupa. Namun akhirnya ia dapat selamat karena memiliki semangat hidup dan jiwa yang satria.

Next to Page 4
Selengkapnya...

Read On 0 komentar

MULAN Bab 2

Manakala waktu tak lagi berakal
dan sang sunyi datang mengendap
sebesar hitungan pada guguran yang-liu
aku tak dapat lagi meraba

Ini Tionggoan yang terluka
tetapi para penyeru tak surut berseteru
mungkin lain waktu
taburan benih kebajikan
akan menumbuhkan kinasih

Bao Ling
Nyanyian Sunyi pada Pertempuran Suatu Fajar
Setiap melintas di ruang tengah rumahnya, Fa Mulan selalu tersenyum sendiri. Di atas meja hyang para leluhur Fa, ia dapat melihat dengan jelas pedang ular perak Shan-Yu yang berhasil ditaklukkannya dengan susah payah, tersampir di dudukan pedang kayu mahoni dekat deretan nisan alwah para leluhur Fa.

Pedang itu bukan pedang biasa. Nyaris seberat seperempat berat tubuhnya. Pedang itu terbuat dari baja khusus dengan dua sisi mata pedang yang sangat tajam. Memanjang dengan tiga kelokan serupa tubuh ular. Dalam beberapa pertempuran, konon pedang milik jenderal batil itu dapat melumpuhkan tiga orang prajurit lawan sekaligus dengan sekali tebas.
Itulah sebabnya pedang ular perak sangat ditakuti banyak pendekar dari Dinasti Yuan. Termasuk beberapa pengawal khusus kaisar, jawara-jawara wushu yang berasal dari Yin-tin. Dua pengawal kembar kampiun kaisar, Lu Shan dan Lu Shen mati mengenaskan dalam sebuah pertarungan hebat di depan gerbang Istana Da-du.

Si Tombak Maut, Lu Shan tidak berdaya melawan kepiawaian sabetan pedang ular perak Shan-Yu. Nasib serupa pun dialami oleh Si Golok Setan, Lu Shen. Hanya dengan delapan jurus, sepasang pengawal kembar itu takluk dan bersimbah darah di tanah. Delapan jurus sebenarnya bukan waktu yang singkat untuk dapat melumpuhkan pendekar hebat sekelas mereka. Shan-Yu sebetulnya mendapat perlawanan sengit meski pada akhirnya ia dapat memenangi pertarungan satu lawan dua itu.


Posisi pasukan pemberontak Han sebetulnya sudah terdesak sejak Kaisar Yuan Ren Zhan meminta bantuan sahabatnya dari negeri putih Inggris, Sir Arthur Jonathan di London - melalui delegasi Perdana Menteri Shu Yong, untuk mengirimkan beberapa ribu pucuk Fo Liong dengan imbal barter emas batangan dan batu-batu delima asal Mongolia. Fo Liong yang merupakan ekuivalentik meriam, harafiah dari Naga Api itu memang sengaja didatangkan untuk memukul lawan dari arah utara dan selatan, yang berusaha melintasi Tembok Besar, dan bahkan beberapa di antaranya telah perlahan mendekati pusat Kekaisaran Yuan di Ibukota Da-du.

Keampuhan teknologi perangkat perang modern dari Negeri Barat itu memang efektif melumpuhkan musuh-musuh. Pasukan pemberontak Han terdesak mundur. Namun sebagian perwira dan jasus handal dengan tingkat determinasi tinggi berhasil menerobos masuk ke dalam Ibukota Da-du.

Salah satu di antaranya adalah Jenderal Shan-Yu!

Pasukan Han Chen Tjing yang kembali berusaha melewati Tembok Besar memang banyak gugur sebelum mencapai Ibukota Da-du. Pasca penghancuran prajurit Yuan dari Divisi Infanteri, pasukan Han sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit wamil dan ribuan prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong yang tangguh. Pasukan Han pun menipis. Dan ketika sampai di Ibukota Da-du, yang tersisa hanyalah beberapa perwira tinggi pemimpin pasukan Han.

Berkat strateginya yang jitu, juga didukung oleh ilmu silatnya yang tinggi, Shan-Yu berhasil memasuki Istana Da-du. Di dalam Istana Da-du, sebelum bertarung dengan sepasang pengawal kembar - Lu Shan dan Lu Shen, ia dihadang oleh tujuh pendekar Butong. Mereka adalah garda terkuat setelah sepasang pengawal kembar tersebut.

Jurus Formasi Tujuh Bintang pun digelar untuk menghadang laju Shan-Yu kala itu. Tujuh pendekar itu bergerak dinamis mengentak-entak lantai Istana Da-du, berputar-putar dan sesekali beterbangan gingkang membentuk jurus Menara Tujuh Pagoda - bersusun bahu per bahu. Pertarungan pun dimulai ketika tujuh pendekar itu menghunuskan pedang mereka masing-masing, melompat seperti katak ke arah Shan-Yu yang sudah menanti mawas dengan sepasang mata elangnya. Desingan-desingan dan denting pedang yang beradu di sekitar ruangan Kaisar Yuan Ren Zhan terdengar riuh. Shan-Yu menangkis setiap serangan dengan kibasan pedang ular peraknya. Kakinya membentuk kuda-kuda, menahan gempuran pedang pendekar Butong yang bertenaga dari segala arah.

Sementara pertarungan masih berlangsung, Kaisar Yuan Ren Zhan dengan dikawal oleh sepasang pengawal kembar dari Yin-tin segera melarikan diri lewat pintu rahasia belakang. Kaisar Yuan Ren Zhan mesti diselamatkan dari ancaman pembunuhan. Sepasang pengawal kembar itu bertugas menyelamatkan nyawa Sang Kaisar yang sudah di ambang kritis. Mereka melewati jajaran mayat dari kedua belah pihak yang bergelimpangan di tanah sebelum tiba di gerbang utama Istana Da-du. Di sana mereka disambut beberapa prajurit berkuda yang akan melarikan kaisar ke tempat aman.


Di dalam Istana Da-du yang megah itu masih terjadi pertarungan sengit. Shan-Yu tidak ingin membuang-buang waktu. Ia harus segera mencecar Kaisar Yuan Ren Zhan sebelum dilarikan oleh beberapa orang pengawal pribadinya. Kalau tidak, ia akan kehilangan segala-galanya!

Maka dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Bisa Pedang Ular Sakti, dilumpuhkannya tujuh rahib pendekar dari Kuil Butong di Bukit Wudan, Tionggoan Tenggara. Pedang ular peraknya mematuk tanpa ampun, tepat di dahi ke tujuh pendekar rahib berseragam jubah kelabu tersebut hanya dengan gerakan Tiga belas Titik Simpul Mati, totok pedang andalannya. Ketujuh pendekar rahib beraliran Taoisme itu terkulai, lalu tersungkur tak berdaya mencium tanah.
Shan-Yu terbang segesit walet. Hinggap di atas tektum Istana Da-du setelah melewati tembok-tembok tinggi istana, berjalan dengan tubuh seringan repih rambun di atas genteng, lalu menukik cepat serupa lintang kemukus ke arah dua pengawal kembar Sang Kaisar.

Dua silangan tombak dan golok dari Lu Shan dan Lu Shen menghadang gerakan Shan-Yu. Ia berhenti seperti capung dengan kedua belah tangan terpentang di udara. Menghindari tohokan tajamnya tombak berbisa Lu Shan dan sabetan golok besar Lu Shen yang, pada akhirnya hanya menerpa udara tanpa sasar. Sebuah jurus andalannya yang lain, Pedang Ular Terbang, menghindarinya dari maut!


Dan tanpa disangka-sangka kakinya menyepak udara, salto dan melesat lebih tinggi. Dikibaskannya pedang ular perak itu dengan gerakan konstan serupa propeler. Menukik ke bawah. Mengarah ke kereta tandu yang membawa Kaisar Yuan Ren Zhan kabur dari Istana Da-du, tepat simetris pada kepala Sang Kaisar di balik atap kereta tandu. Kedua pengawal kembar itu ternganga. Terlambat menyadari bahaya yang sudah di ambang mata!

Nyawa Kaisar Yuan Ren Zhan sudah tinggal hitungan detak jantung!

Sang Kusir berbalik dengan muka pucat. Mengayunkan pedangnya secepat kilat dengan sikap gugup, sampai sarung pedangnya terpental ke tanah. Ditahannya pedang ular perak Shan-Yu yang nyaris merobek tenda kereta tandu. Terdengar suara dentingan keras seperti dentangan martil mpu pedang yang sedang menempa baja di tungku bara. Pedang Sang Kusir mengerak sebelum patah menjadi dua. Sepasang pengawal kembar jawara wushu dari Yin-tin itu pun langsung melompat setelah menyadari pertarungan Sang Kusir sudah usai di sana. Dan ketika mereka tiba di atas samping kereta tandu, Sang Kusir yang juga merupakan pewushu handal itu telah tergeletak jatuh dengan dahi meretak.


Kusir pengawal lainnya segera menghela kekangan sepasang kuda unggul asal Mongol itu kuat-kuat diulahi dengan beberapa cambukan keras cemeti pada punggung kuda. Kuda-kuda itu melompat seperti terbang. Meninggalkan arena pertempuran yang berdarah.

Shan-Yu melompat dengan gerakan salto, hendak menyabetkan kembali pedang ular peraknya ke arah tenda kereta tandu. Tetapi ia sudah digebah oleh tohokan-tohokan tombak serupa angin puyuh Lu Shan. Dari arah belakang, kibasan-kibasan golok lebar Lu Shen juga mengobrak-abrik konsentrasi jenderal bermata tajam dengan sepasang alis bulan sabit itu.

Jenderal pemberontak Han tersebut geram luar biasa. Kereta kuda Sang Kaisar sudah cukup jauh meninggalkan Istana Da-du. Ia mengamuk. Menebas-nebas pedang ular peraknya dengan gerakan selicin ular. Mematuk-matuk cepat seperti kobra. Dan sesekali terbang rendah mengitari kedua lawannya yang mulai kelelahan.

Partikel debu beterbangan seperti gemawan dalam radius pertarungan. Gemurat leher Shan-Yu menegang, mengembangkan otot-ototnya yang sekuat baja. Pedang ular peraknya bergetar. Lalu kembali terkibas-kibas seperti propeler. Ia ingin menyudahi pertarungan dengan target delapan jurus agar dapat mengejar Sang Kaisar yang mumpung belum keluar dari perbatasan Ibukota Da-du.

Dari jarak tak seberapa, Shan-Yu berdiri menumpu pada satu kaki serupa bangau dengan paruh yang siap mematuk mangsa. Pedang ular perak di tangan kanannya terjulur ke depan. Sementara itu tangan kirinya membentuk lengkungan busur di belakang kepalanya seperti hendak memanah. Sesaat kemudian tubuhnya terlontar disertai satu teriakannya yang melengking keras membelah keheningan.


Jurus Pedang Danuh yang diperagakannya mendorong tubuh Lu Shen sampai terseret tiga tindak ke belakang. Golok besar yang menahan tusukan pedang ular perak Shan-Yu itu membilur, memancarkan percikan lelatu setiap bersentuhan.

Lu Shan mencoba membantu saudara kembarnya dengan mengarahkan mata tombak ke bawah, ke arah kaki Shan-Yu. Namun Sang Jenderal Han itu rupanya sudah mengantisipasi serangan tersebut. Sepasang kakinya yang bersepatu alas baja menyepak-nyepak ujung mata tombak sehingga bergetar keras, menyebabkan badan Lu Shan terpelanting tanpa arah.
Peluh membanjiri tubuh sepasang pengawal kembar adikong terbaik Sang Kaisar. Terik matahari siang yang memancar dari langit seperti mengembuskan udara permusuhan bagi pendekar wushu dari Yin-tin tersebut. Empat jurus terlewati. Peluh-peluh yang menitik di dahi kedua pengawal kembar itu perlahan menjadi musuh dalam selimut. Tetesannya yang merembes ke mata memang menjadi salah satu kendala.

Shan-Yu memang sangat terkenal sebagai pendekar yang cerdik memanfaatkan situasi. Salah satu di antara pukulan taktisnya adalah gebukan pedang ular peraknya yang berat dan bertenaga, yang kerap menghabiskan tenaga-tenaga lawan yang menangkis gempuran membabi-buta darinya. Atau, semburan-semburan pasir ke mata lawan hasil kaisan-kaisan kakinya yang lincah di tanah. Juga kelengahan-kelengahan lawan yang sekecil apa pun.

Memasuki jurus kelima, Shan-Yu berhasil mematahkan tombak Lu Shan dengan kepitan kakinya di tanah. Si Golok Setan Lu Shen tampak kalap, berusaha menebas kepala Shan-Yu saat Sang Jenderal Han itu mendesak kakak kembarnya. Shan-Yu merunduk sekaligus memasuki fase jurus keenam. Pedang ular peraknya terulur ke depan bersamaan dengan kelitan tubuhnya yang serupa elang, mengepak ke belakang dengan paruh tetap di muka.

Beberapa helai rambut dari kucirnya tampak beterbangan kena tebas. Namun ia berhasil merobek paha Lu Shen sebagai balasan sehingga pengawal itu terundur, dan jatuh di tanah dengan lutut menopang badan. Lu Shan masih berusaha melawan meskipun tombaknya telah patah. Sejengkal mata tombak yang masih dipegangnya dihunus ke wajah tirus Shan-Yu. Tetapi kepala Sang Jenderal Han itu terlalu sulit dijangkau hanya dengan mengandalkan patahan tombak.


Ia licin serupa kobra.

Lu Shen bangkit berdiri dengan ringisan kesakitan. Ia tertatih-tatih, mengacung-acungkan goloknya dengan jurus terakhirnya, Golok Pembunuh Naga - temurun silat Selatan ciptaan pendekar golok kesohor, Tio Sam Hong. Amukannya disertai sebuah teriakan yang membahana. Auman Singa Siluman, sebentuk paduan tenaga dalam yang sangat kuat dan bertenaga. Golok yang dihunuskan ke tanah tampak membelah disertai beberapa ledakan kecil serupa lelatu. Shan-Yu melompat dan terbang dengan jurus Pedang Ular Terbang-nya, menghindari belahan tanah seluas setengah depa yang siap menelan tubuhnya.

Jurus ketujuh segera mengakhiri pertarungan. Masih beterbangan di udara, dihunuskannya pedang ular peraknya dengan sebuah dorongan chi gaib hasil persekutuannya selama ini dengan kekuatan hitam para arwah. Ada bolide sebesar biji kenari berderet keluar dari ujung mata pedang ular peraknya, menghunjam berkali-kali dada Lu Shen. Pendekar Golok Setan itu terhuyung dengan mulut memuntahkan darah. Dan Shan-Yu menyudahi pertarungan dengan totokan pedang ular peraknya di dahi pendekar jago golok dari Yin-tin tersebut setibanya ia di tanah.


Lu Shen menghambur ke arah Shan-Yu dengan hanya mengandalkan patahan tombaknya. Shan Yu yang sudah menginjak tanah kembali mengambang tiba-tiba. Pendekar jago tombak itu terperangah. Patahan tombaknya hanya menikam udara. Shan-Yu sudah berada simetris di atasnya, menatapnya dengan secuil senyum ganjil. Lalu dengan sebuah gerakan refleks, ia menukik seperti anak panah yang terlepas dari tembakan busur. Menikam tepat di batok kepala Lu Shan. Dan pendekar itu terkulai tak bernapas ke tanah.


Sertamerta Sang Jenderal bengis itu melompat ke atas kudanya tanpa menapak sanggurdi. Dikebutnya lari kuda dengan gebahan sepasang tumitnya ke perut kuda. Ia harus mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan, membunuh lalu memenggal kepalanya untuk diserahkan sebagai upeti keberhasilan pemberontakan kepada pemimpin pemberontak Han, Han Chen Tjing. Salah satu generasi puak terpandang Han yang ambisius ingin merebut takhta kekaisaran menjadi kaisar dengan imbalan kursi perdana menteri bagi Shan-Yu - seorang jenderal pembangkang yang terbuang oleh kaisar generasi ketiga Dinasti Yuan, Yuan Ren Zhan. Kaisar yang kini menjadi incarannya, yang melarikan diri ke Kamp Utara pimpinan prajurit handal dan loyal, Kapten Shang Weng dan asistennya yang cerdik, Fa Mulan!


Keterangan :

Yang-liu = Sejenis bunga sakura (blossom flower) yang banyak tumbuh di daerah Tionggoan Selatan.
Ying-tin = Sekarang Nangjin.
Fo Liong = Meriam.
Da-du = Sekarang Beijing.
Han Chen Tjing = Pemimpin tertinggi Han, mengepalai secara rahasia sebuah organisasi bawah tanah bernama Kelompok Topeng Hitam.

Next to Page 3
Selengkapnya...

Read On 0 komentar

MULAN Bab 1

Sebenarnya aku melakukannya
bukan semata untuk Ayah
tetapi untukku sendiri!
sehingga sewaktu bercermin dulu
aku melihat seseorang yang berguna!

Fa Mulan

Refleksi Pedang Naga

PROLOG

Apa yang dapat dilakukan seorang gadis belia seperti aku saat mengetahui bangsa ini di ambang maharana? Ketika menyadari kenyataan bahwa ayahku yang sudah tua masih saja harus mengangkat pedang menyongsong perang dan menghadapi musuh-musuh Dinasti Yuan? Sungguh, kenyataan itu demikian menyakitkan.

Aku Fa Mulan. Lahir sebagai putri tunggal dalam Keluarga Fa. Mungkin aku akan menyesali diri, mengapa harus terlahir sebagai perempuan dan bukannya laki-laki. Ya, laki-laki. Laki-laki yang dapat melakukan segalanya, termasuk mewakili Keluarga Fa mengikuti wajib militer yang telah diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan kepada seluruh rakyat Tionggoan.

Mungkin.

Tetapi kenyataannya aku memang perempuan. Dan aku tidak dapat mengubah takdir langit itu kepada saya.

"Hei, sekarang giliran kamu!"
"Sa-saya, Inspektur Tang?"
"Iya, kamu! Memangnya siapa yang saya panggil?! Dari tadi saya lihat kamu melamun terus!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Nama kamu siapa?!"
"Mulan."
"Hah, Mulan?"
"Kenapa memangnya?"
"Jangan kurang ajar! Kamu ini calon wamil. Ditanya malah balik bertanya!"
"Memangnya ada yang salah pada nama saya, Inspektur Tang?"
"Cukup! Jangan membantah lagi! Benar nama kamu Mulan?"
"Benar, Inspektur Tang. Anda bisa baca manuskrip yang saya bawa. Di situ jelas-jelas tertulis nama saya."
"Kenapa nama kamu mirip nama perempuan?"
"Oh, kalau hal itu saya kurang paham, Inspektur Tang."
"Kurang paham bagaimana?! Jangan main-main, ya?!"
"Maaf. Sedari kecil saya memang diberikan nama perempuan, Inspektur Tang. Konon, waktu masih bayi saya sering sakit-sakitan. Untuk menghindari malapetaka, maka orangtua saya berinisiatif memberikan nama perempuan kepada saya untuk mengelabui setan-setan jahat yang suka memangsa orok laki-laki. Hihihi, lucu ya, Inspektur Tang?"
"Cukup, cukup! Jangan ketawa! Tidak ada yang lucu!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Di sini tertulis marga kamu Fa. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang. Nama lengkap saya Fa Mulan. Fa yang berarti bunga, dan Mulan yang berarti Magnolia. Bunga Magnolia."
"Jangan cerewet! Saya tidak menanyai kamu soal itu. Bukan hanya kamu yang perlu saya daftar sebagai prajurit wamil. Lihat antrian di belakang kamu sudah sepanjang Tembok Besar."
"Oh, maaf, Inspektur Tang."
"Terlahir dari ayah bernama Fa Zhou dan ibu bernama Fa Li. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang."
"Hei, Fa Zhou adalah ayah kamu?!"
"Betul, Inspektur Tang."
"Ya, ampun! Ternyata, kamu adalah anak Fa Zhou."
"Oh, jadi Inspektur Tang mengenal ayah saya?"
"Ya. Ayah kamu adalah sahabat saya semasa perang dulu. Dia purnawirawan prajurit Yuan yang sangat loyal. Dalam sebuah pertempuran bersama saya, kaki ayah kamu terluka oleh sabetan pedang musuh. Sebelah kakinya pincang selama-lamanya. Oleh karena itulah ayah kamu pensiun dari militer. Yah, mungkin juga karena usianya yang memang sudah tua."
"Wah, rupanya Inspektur Tang bukan orang lain."
"Ya, ya. Saya dan ayahmu sudah seperti saudara sekandung."
"Kalau begitu...."
"Hei, tapi setahu saya Fa Zhou tidak memiliki anak laki-laki!"
"O-oh, mung-mungkin...."
"Kenapa?"
"Mungkin karena Inspektur Tang khilaf. Menyangka saya yang laki-laki ini perempuan karena bernama perempuan. Bukankah begitu, Inspektur Tang?"
"Hm, mungkin. Mungkin."
"Nah, benar bukan?"
"Mungkin. Mungkin saya memang lupa. Hm, rupanya saya memang sudah tua."
"Betul, betul! Anda memang sudah tua, Inspektur Tang!"
"Fa Mulaaaaan!"

***

"Siapa lagi nama pemuda itu, A Lang?"
"Namanya Tong Hui Kong, Nyonya Fa!"
"Oh, ya, ya. Ah, saya selalu lupa nama calon suami untuk Mulan, A Lang. Yah, semoga dia pemuda
yang baik."
"Jangan khawatir, Nyonya Fa. Pemuda itu berasal dari keluarga terpandang. Orangtuanya sangat kaya. Saya yakin dia merupakan suami yang paling tepat untuk Nona Fa."
"Ya, ya. Semoga mereka cocok. Supaya saya dapat lekas menimang cucu laki-laki."

- Fa Li Calon Suami untuk Putriku

***

TIONGGOAN (1208-1244 M)

Satu kalpa setelah pembebasan Tsun Gokong dari kurungan goa Dewata di langit, maka layaknya fenomena alam yang sering terjadi, meledaklah sebuah bintang mahabesar ke segala penjuru jagad raya nan pekat gulita. Partikel debu berpencaran, mengelana membentuk sebuah kehidupan baru. Maka terbentuklah semesta hasil nova. Bimasakti, sebuah galaksi raksasa dengan paradigma kehidupannya yang baur.
Gadis itu embusan dari langit.

Ia diberi kekuatan terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik. "Mulan...."
Putri tunggal Keluarga Fa itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.
Ia masih berlari.

Dilewatinya selasar halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing. Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.
Dilihatnya perempuan bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut sudah terbaca dalam benaknya bahwa, ibunya itu tidak senang melihat sikap seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.

Nyaris sepanjang hidup, perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan. Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya sekarang?!
"Mulaaaaan!"
"Sabar sedikit, Ibu!"
Dilihatnya perempuan itu mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar, kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari mulut lebar ibunya tersebut.

Dan apa yang telah terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.
"Ada apa, Ibu?!"
Sejak lahir, ia memang tidak pernah dianggap. Pasalnya, ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan mengharapkan sang Janin akan terlahir laki-laki. Perempuan itu mengidam-idamkan anak laki-laki. Karena, hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa. Namun semua angan perempuan itu melayang ke langit kala mendapati kenyataan bahwa sang Janin yang dilahirkannya ternyata berkelamin perempuan.
Ya, Dewata!

Alangkah kecewanya perempuan itu sampai-sampai pernah mengutuk dan mengatakan kalau sang Bayi mungil tersebut merupakan jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.
"Sudah dua hari Shang Weng tidak mengunjungimu. Ke mana dia?!"
Ia mengembuskan napas keras. Sejenak mematung serupa sano. Pandangannya mendadak verba seiring sontak umpat yang berloncatan di benaknya. Ya, Dewata! Sungguh, sungguh keliru ia menafsir apa yang menjadi sumber kegusaran ibunya yang tidak beraasan hari ini. Sumpah, disangkanya ada serbuan asing dari pasukan pemberontak Han yang sudah takluk, kembali lagi ke barak-barak mereka di Utara, atau invasi Mongolia ke Da-du yang untuk sementara berhasil digagalkan. Namun, ternyata hanyalah pertanyaan kiasan selitani prosa Lao Tzu, yang sudah dihapalnya dalam benak sampai terbawa mimpi.

Untuk itu, ia menggerutu dalam hati. Terus-terang, ia tidak mau bersitegang dan beradu mulut dengan ibunya lagi. Sekian belas tahun, setiap hari dan setiap waktu, pertengkaran merupakan warna dalam hidupnya. Pertengkaran sudah menjadi ritualitas yang mesti dimafhumi. Sungguh, ia sudah lelah. Sangat lelah.
Shang Weng yang dimaksud ibunya itu tidak lain adalah pemimpin para prajurit di Kamp Utara, Tung Shao. Bersamanya, mereka bahu membahu melawan pasukan pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing yang berkonspirasi dengan Jenderal Shan-Yu untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia tahu, setelah ibunya mengetahui Shang Weng jatuh hati kepadanya, maka sontak perempuan nyinyir itu menganggap hal tersebut merupakan anugerah yang terindah dalam hidupnya.
Tentu saja.

Selama ini, ibunya pasti sudah bosan mendengar rumor tetangga tentang statusnya yang masih melajang. Dan sudah barang tentu pula sebagai 'ibu yang baik', perempuan itu tidak ingin putrinya dijuluki perawan tua. Saban hari ibunya diresahkan dengan masalah calon pendamping dan calon pendamping yang belum kunjung tiba untuk putri tunggalnya. Padahal, gadis-gadis sebaya seorang Fa Mulan sudah banyak yang dipinang orang. Berstatus istri, menjadi ibu rumah tangga, dan melahirkan anak laki-laki yang lucu-lucu serta montok-montok. Sudah sekian tahun pula perempuan itu pasti merindukan dapat menimang seorang cucu. Cucu laki-laki!
Namun, ia sadar, renjana indah ibunya itu ambyar setelah mengetahui seorang Fa Mulan malah berkorban mendaftarkan diri sebagai prajurit wamil, menggantikan ayahnya yang sudah tua. Ya, Dewata! Meski tidak melihat sendiri, ia tahu perempuan itu pasti menangis tiga hari tiga malam sampai-sampai airmatanya mengering.

Bukan karena sedih takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap seorang Fa Mulan, tetapi lebih karena semua harapannya, menimang cucu laki-laki, telah hancur berantakan. Bukan itu saja. Ia menangis sejadi-jadinya karena sadar kalau anak gadisnya yang baru jalan tujuh belas itu bahkan, akan semakin menjadi laki-laki.

"Dia sibuk mengurus negara!" jawabnya enteng menanggapi pertanyaan ibunya yang kesusu. "Mana bisa hanya mengurusi Fa Mulan seorang saja?!"
"Sibuk?!" Perempuan bernama Fa Li itu balik bertanya, mengerutkan kening, membentuk empat garis tipis pada dahinya. Ya, Dewata! Di matanya, perempuan itu tampak lebih tua dari usia Tembok Besar. "Tapi, sudah dua hari dia tidak ke rumah kita!"
"Dua tahun juga tidak apa-apa!" timpalnya dengan kalimat seringan gingkang. "Baru juga dua hari tapi Ibu seperti kebakaran kucir saja!"
"Eh, anak ini!" Dilihatnya kembali perempuan itu berkacak pinggang. Matanya semelotot ikan maskoki. "Ditanya...."
"Habis...."
"Kalau Ibu menanyai kamu, itu berarti Ibu peduli sama kamu! Itu berarti Ibu sayang sama kamu! Bukannya sok mengatur hidup kamu!"
"Iya, tahu!" Ia mendengus, melengos dengan rupa tidak senang. "Kapan Ibu tidak mengatur hidup saya?!"
"Eh, tega-teganya kamu bilang begitu kepada Ibu, ya?!"
"Memang dia lagi sibuk!"
"Mulan!" Perempuan separo baya itu menghela napas, matanya mendelik dan memejam hampir bersamaan. "Kalau ditanya, jangan membangkang begitu!"
Ia mengusap wajah. "Habis, saya harus bilang apa, Ibu?! Semua perkataan saya selalu salah. Apa-apa pasti salah!"
"Ingat, Ibu marah demi kebaikan kamu juga."
"Kebaikan apa kalau selama ini saya selalu merasa tersisih, disudutkan sejak dulu. Ibu memang tidak pernah bersikap adil terhadap saya!"
"Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, Mulan?!"
"Oh, jadi apa yang selama ini Ibu lakukan untuk saya semata-mata demi membahagiakan saya?!" Ia membeliak, sedikit merasa gusar saat kenangan lama masa kanak-kanaknya yang terkekang oleh kelakuan seorang Fa Li mengiang kembali di benaknya. "Apakah kelakuan Ibu yang otoriter itu dapat dianggap membahagiakan hidup saya?!"
"Kamu terlalu naif menanggapi didikan keras Ibu!"
"Ibu bukan mendidik keras supaya saya disiplin, bukan itu! Tapi apa yang Ibu lakukan terhadap saya selama ini merupakan ketidakadilan. Ya, ketidakadilan!"
"Cukup, Mulan!" bentak perempuan itu. "Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi orang dan pahlawan Yuan sehingga berani melawan Ibu!"
"Saya tidak melawan Ibu. Saya bukan membantah Ibu. Tapi saya hanya ingin Ibu membuka mata atas apa yang telah Ibu lakukan terhadap saya."
"Oh, Dewata nan Agung!" Dilihatnya dengan ekor matanya ibunya mendongakkan kepala, seperti menerawangi atap rumah untuk berbicara dengan Sang Penguasa Langit nun jauh di atas sana. "Beginikah hasil yang saya peroleh setelah bersusah-payah membesarkan anak ini?!"
"Sudahlah, Ibu. Jangan meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dahulu kala terhadap saya!"
Ya, Dewata!

Setiap hari perempuan bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
"Mulan! Tega-teganya kamu bersikap begitu terhadap Ibu!"
Dilihatnya perempuan separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu. Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.

Ia mencibir dari belakang. Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata, meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa. Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa dari generasi pertama sampai mutakhir.

Herannya, perempuan itu dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
"Oh, para leluhur Keluarga Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan, berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!"

"Sudahlah, Ibu! Tidak usah bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis. Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!" Perempuan itu semakin meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.

Ia tahu, akar permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya, Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.

Seingatnya, nyaris tidak ada persoalan serius dalam keluarganya. Tetapi bagi ibunya, sebuah persoalan sepele apa pun yang menyangkut seorang Fa Mulan akan mendatangkan kiamat. Terlambat bangunlah. Cucian yang hilang di sungailah. Terlalu dekat dengan teman laki-lakilah. Sampai cara ia tertawa, berbicara, dan berjalan pun selalu mendatangkan kritik serta masalah!
Masih terngiang pula, sarat beban yang mesti dipikulnya sebagai seorang gadis yang beranjak akil-balig empat tahun silam sebelum ia menyusup dan menyamar sebagai laki-laki ke dalam kamp militer Yuan. Menikah di usia belia merupakan pilihan dan jalan satu-satunya dalam hidupnya sebagai seorang perempuan. Sebuah beban psikis yang tidak pernah dapat diterimanya dengan legawa.

Ia dibentuk untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya . Ia ditempa untuk menjadi 'orang lain', yang manut pada aturan baku dan leluri. Namun jujur ia tidak bisa. Ia memberontak. Dan sengaja menggagalkan acara penjodohan dengan laki-laki pilihan ibunya-seorang pemuda dari puak terpandang atas perantara seorang makcomblang bernama Liem Sui Lang.
Lalu ketika semuanya lantak berderai, pembantahannya yang tanpa apologi tersebut ditimpali dengan seribu serapah. Ia dipukul dan diusir oleh ibunya dari rumah. Pembelaan untuknya justru selalu datangnya dari Fa Zhou, ayahnya yang lembut dan baik hati.

"Anak tidak tahu diri!"
"Sudahlah. Jangan menghukum Mulan sedemikian beratnya. Pernikahan tanpa didasari cinta bukanlah tindakan bijak. Mulan berhak menentukan pilihannya sendiri. Kalau dia belum siap menikah, sebagai orangtua, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah jodoh Mulan diatur oleh Dewata. Bukannya kita!"
"Tahu apa kamu tentang Mulan, Fa Zhou!"

Ya, pada dasarnya ia tidak bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia tidak bisa menjadi perempuan kemayu yang ditingkahi feminitas palsu. Ia tidak bisa bersandiwara. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang Fa Mulan yang ceria dan dinamis, tidak diikat oleh sebuah pranata gender. Ia adalah seorang Fa Mulan yang enerjik, bukan gadis pendiam serupa arca yang hanya tahu mengurusi tetek bengek rumah tangga - melahirkan dan mengasuh anak, serta menjadi budak seks bagi sang Suami di atas ranjang.

Menurutnya, seorang gadis tidak mesti melulu berurusan dengan rumah tangga dan dapur. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang gadis. Pasungan pranata telah melukai demikian banyak hati perempuan. Mereka mati perlahan-lahan dalam kurungan emas sangkar madu. Semestinya, seorang gadis tidak boleh dijajah lagi oleh adat istiadat yang meleluri. Seorang gadis harus memberontak. Seorang gadis harus merombak kultur gender yang sudah mendarah daging di Tionggoan.

Itulah sebabnya ia selalu diam-diam mempelajari ilmu silat keluarga Fa, satu hal yang amat tabu bagi kaum perempuan, Pedang Naga Fa dari kitab kuno karangan leluhur Keluarga Fa. Sebuah mustika terpenting yang disimpan ayahnya di salah satu tumpukan buku sejarah Keluarga Fa.
Dulu, ketika ayahnya berlatih wushu, ia selalu mengintip dari balik tembok ruangan khusus tempat latihan. Selang berikutnya, ia menghapal kemudian memperagakan ilmu silat yang dilihatnya diam-diam tadi di dalam kamarnya. Dikembangkannya beberapa jurus yang dianggap lebih dinamis. Setelah itu memperdalam lantas memperkaya salah satu jurus keluarga Fa, Telapak Fa yang dahsyat. Bahkan, juga menciptakan sendiri jurus-jurus baru. Di antaranya adalah Tinju Bunga Matahari yang gemulai tetapi bertenaga, dan Tinju Hong Terbang yang gesit dinamik.

Namun lepas dari semua itu, ia memang bukan gadis tipe calon ibu rumah tangga yang baik. Ia tidak memiliki fisik ideal seperti dambaan banyak lelaki. Ia tidak memiliki pinggul besar yang diyakini dapat memberikan banyak keturunan dan anak laki-laki kepada sang suami, seperti kultur orang-orang Tionggoan selama ini.
Pinggulnya kecil. Dadanya nyaris rata. Tidak ada sepasang bukit daging yang menggumpal menggiurkan, salah satu andil libido dan ereksi pada penis laki-laki selama ini. Tubuhnya terlalu kurus. Bahkan terlalu kerempeng sehingga menyerupai toya. Dan tingkahnya tidak gemulai layaknya gadis-gadis lain.

Ia sadar pula kalau ibunya pernah menyesali memiliki putri seperti seorang Fa Mulan. Ibunya tidak pernah bersikap manis kepadanya. Ibunya tidak pernah menunjukkan rasa sayang layaknya ibu sejati kepada anaknya yang tunggal. Tidak ada afeksi dari perempuan gemuk itu seperti dambanya selama ini.

Hanya ayahnya sajalah yang sangat mencintainya!
Hanya ayah pulalah yang sering memberinya semangat untuk tetap tegar setelah diantipati oleh ibunya. Juga ayahlah yang menghiburnya setelah gagal pada acara penjodohan beberapa tahun lalu itu.

"Bunga-bunga bermekaran pada musimnya. Namun, kadang-kadang ada bunga yang terlambat mekar pada saat itu. Tapi kelak bunga yang terlambat mekar tersebut akan menjadi bunga terindah. Ya, bunga terindah. Dan kamulah bunga itu, Mulan!"

Setiap mengingat kalimat subtil itu, Fa Mulan langsung menitikkan airmata haru. Ayahnya merupakan pahlawan dan guru terbaik dalam hidupnya. Karena itulah ia akan berbuat apa saja demi membahagiakan lelaki tua tersebut. Bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun seperti yang telah dilakukannya empat tahun lalu. Saat itu ia menggantikan posisi ayahnya mengikuti wajib militer yang diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan dari Dinasti Yuan, agar seluruh keluarga di Tionggoan wajib mewakilkan seorang putra menjadi prajurit untuk menghadapi serbuan pasukan pemberontak Han yang sudah melintasi Tembok Besar. Juga gangguan-gangguan kaum nomad Mongol di perbatasan Tionggoan.

Dan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu memang telah menjadi kenyataan. Ia telah menjadi pahlawan perempuan yang menyelamatkan Tionggoan dari kehancuran. Kaisar Yuan Ren Zhan generasi ketiga penerus Kekaisaran Yuan telah menganugerahinya gelar Prajurit Besar Yuan. Mengalunginya dengan sebuah Medali Naga yang terbuat dari emas murni. Itulah simbol dan penghargaan tertinggi yang belum pernah diperoleh siapa pun di Dinasti Yuan. Bunga yang terlambat mekar itu telah mengembang. Menyerbakkan keharuman yang tiada tara ke seluruh penjuru negeri Tionggoan.

Ketangguhan itu telah ditunjukkannya kepada ibunya. Bahwa seorang perempuan yang bernama Fa Mulan adalah bunga keluarga. Ia adalah berkah dari segala yang pernah dikutuk.
Ia adalah pahlawan.

Selengkapnya...

Read On 0 komentar

SEINDAH MATA KRISTALNYA

Cerpen Karya Mayoko Aiko

Malam bergulir perlahan. Detak jarum jam dinding di kamarku terdengar jelas. Kota Jakarta terlelap dalam tidur. Hanya sesekali terdengar raungan kendaraan. Menggerung keras lalu lenyap ditelan kesunyian.
Pukul dua dinihari.

Aku menyeka sebuah luka memar di sekitar kelopak mataku dengan air hangat. Bekas luka pukulan itu, setelah seminggu perlahan-lahan mulai hilang.
Kini aku menatap wajahku sendiri di dalam cermin. Kenapa itu kamu lakukan, Renaldi? Kenapa kamu mati-matian membela gadis itu? Kenapa kamu tidak pernah berkompromi kepada seseorang yang telah membuat mata bening milik gadis itu mempunyai pesona lain dalam hatimu, Renaldi? Ataukah, kamu mempunyai perasaan khusus pada gadis itu yang sampai saat ini masih kamu sembunyikan? Yang sampai detik ini tidak pernah kamu ungkapkan?!

***

"Hei, Janna. Kamu tahu tidak kenapa aku sampai saat ini terus memanggilmu, Kristal?" Suatu hari enam bulan lalu menjelang pelajaran matematika aku membisikkan kalimat itu.
Janna menatapku.
"Karena aku anak Mama yang ke mana pun pergi selalu diantar dan dijaga?" sahut Jannya yakin.
Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Karena aku merupakan kaum hawa, yang sering diidentikkan oleh kaummu sebagai penghias dunia kan?" Janna melirikku. Membuka tas sekolah dan mengeluarkan diktat.
Aku tertawa. Lantas menggeleng.
"Dih, memangnya aksesoris?" ledekku.
Janna mengernyitkan keningnya.
"Karena aku seorang gadis yang hatinya mudah patah berkeping-keping seperti kristal?" pancingnya, bertanya.
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Apaan dong, Re?" Janna penasaran. Menatapku beberapa saat, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku.
"Karena kamu mempunyai mata bagus dan sebening kristal," jawabku kemudian sembari menikmati mata indah milik gadis itu.
Janna membelalak. Mencubitku gemas sambil menggigit bibirnya sendiri.
"Jujur, Na. Matamu bagus. Bening bak telaga. Juga teduh. Malah kadang-kadang aku sering berkaca di bola matamu itu," kubiarkan wajah Janna tersipu-sipu.
Tinggi semampai, wajah terkesan aristokrat, dan bermata bagus, itu kesan pertama ketika aku mengenal Janna. Ia memang favorit di sekolahku. Ramah dan supel. Kesannya yang cuek dan tidak pernah memilih-milih teman, membuat Janna tumbuh menjadi cewek favorit di SMA-ku.
"Kamu tahu apa yang ada di dalam hatiku saat ini, Kristal?" Mataku menatap lurus ke depan. Memperhatikan Pak Tito yang mulai sibuk memeriksa pe-er yang diberikan hari kemarin.
"Apa, Re?" bisik Janna lirih.
"Aku tidak ingin seorang pun yang akan melukai mata bagus itu." Aku tersenyum. Melindungi kupingku dari cubitan Janna dengan buku diktat.
"Trims, Re. Kamu memang sahabatku yang terbaik." Tanpa melirikku, Janna meluncurkan kalimat itu.
Keakrabanku dengan Janna, sudah terjalin sejak kelas satu SMA. Malah sebagaian teman-teman menyangka kalau Janna adalah cewekku. Tetapi aku tidak pernah berpikir untuk itu. Tekadku waktu itu hanya satu. Aku ingin menjadi sahabat Janna yang terbaik. Tanpa menodai rasa persahabatanku itu dengan perasaan cinta yang sering berakhir dengan kebencian. Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin melihat mata kristal Janna itu terus bersinar cerah. Bibir sensualnya terus berceloteh riang. Itu saja keinginanku. Meskipun aku sempat menangkap sinyal kalau sebenarnya Janna sering memberiku lampu hijau untuk mengubah persahabatan itu menjadi hubungan yang lebih khusus. Tetapi ternyata aku ragu. Takut kalau suatu saat aku melukai hati Janna. Takut kalau suat saat aku akan menorehkan sembilu di hati gadis itu dan membuat mata kristal miliknya berubah kelabu. Sampai suatu saat Janna mengatakan padaku kalau Bian, anak II.3.B, yang sejak kelas satu mengejarnya dengan sabar, telah menjadi bagian dari hari-hari Janna.
Setelah hal itu terjadi, di hati kecilku, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang hilang. Dan aku yakin sesuatu itu adalah Janna.

***
JANGAN SAKITI HATINYA

Lalu semuanya memang berubah. Hari-hari Janna memang tak pernah tersisa lagi untukku. Aku lebih banyak berdiam diri, dan berusaha keras untuk tidak bertegur sapa. Hanya sesekali aku meliriknya jika kebetulan melewati meja Janna. Janna pun demikian. Tampaknya ia tahu akan sikapku. Ia terus menghindariku. Tak pernah lagi mengajakku ke kantin, ke perpustakaan. Aku pun maklum karena Bian selalu ada di sampingnya. Hampir enam bulan hal itu terjadi. Sampai suatu saat aku melihat mendung menggayut di wajah Janna. Dan hal itu membuat hati kecilku tidak tega melihatnya.
"Kamu punya maslah, Kristal?" Usai pelajaran fisika, aku menghampiri meja Janna.
Mata Janna sejenak berbinar menatapku. Sesaat kemudian mendung kembali menggelayut.
"Re, kita ke kantin, ya?" Bibir sensual itu tersenyum ragu. Ini adalah senyum pertama yang diberikan Janna setelah sekian bulan kami tak bertegur sapa.
"Kamu mau traktir aku, Kristal?" tanyaku sembari membantu memasukkan buku-buku pelajaran yang berceceran di meja belajarnya.
"Ada yang ingin kubicarakan," jawab Janna. Jari lentiknya menyalin rumus terakhir Teori Einstein dari papan tulis.
"Punya problem, Kristal?" tanyaku lagi. Meraih tas sekolahnya dan memasukkan ke dalam laci meja.
Janna mengangguk.
"Problem apa?" Kutatap wajah manis Janna. Ada kerinduan meledak di relung hatiku. Mata itu, Tuhan! Betapa aku sangat merindukan itu! Tapi kenapa mata kristal itu berubah kelabu?!
"Kita bicara di kantin saja ya, Re?" rujuk Janna.
"Terlalu privacy?"
Janna mengangguk lagi.
"Kantin pasti ramai. Bagaimana kalau kita ke cafe Pelangi?"
"Oke, Re. Kita ke cafe," jawab Janna seraya menggandeng tanganku keluar dari kelas.

***
CINTA MEREKAH DI PENGHUJUNG LARA

Cafe Pelangi terletak persis di seberang jalan dari sekolahku. Cafe mungil itu merupakan tempat favorit yang kusinggahi bersama Janna. Tempatnya asri. Ada musik lembut dari tiupan saksofon Kenny G., yang kadang-kadang diselingi hentakan cadas kelompok band Linkin Park. Aku sengaja memilih tempat di sudut cafe. Hanya ada seorang pengunjung yang terlihat santai menikmati jus apel dan sebatang rokok. Lelaki separo baya itu terlihat santai dengan dunianya. Sesekali menyedot sigaret di bibirnya lalu asapnya dihembuskan ke langit-langit cafe. Asap rokok itu melayang-layang sejenak lalu melesat dan lenyap lewat jendela cafe.
"Kamu mau pesan apa, Kristal?" Aku mulai membuka-buka daftar menu yang tergeletak di atas meja.
"Kamu masih memanggilku Kristal, Re?"
Aku tersenyum.
"Aku akan terus memanggilmu, Kristal," sahutku. Menelusuri wajah aristokrat yang telah berbulan-bulan tidak pernah lagi kutatap.
"Oya, mau pesan apa?"
"Aku tidak pesan apa-apa, Re," sahut Janna.
"Teh botol, ya?" tawarku.
"Terserah kamu saja."
Aku memesan dua teh botol dan dua bungkus kentang goreng.
"Sekarang kamu ingin membicarakan apa?" Aku memulai pembicaraan serius usai menyerahkan pesanan kepada pelayan.
Janna menatapku sejenak. Gadis itu masih terlihat ragu-ragu untuk mengungkapkan masalahnya.
"Soal Bian, Re." Akhirnya bibir sensual itu terbuka dengan berat.
"Bian?"
Janna mengangguk.
Teh botol dan kentang goreng pesanan tiba di meja kami.
"Ada apa dengan Bian?" tanyaku serius.
Janna menatapku dengan wajah murung.
"Dia selingkuh, Re." Bibir sensualnya bergetar. Dua butir bening menggelinding dari matanya. Merembes lamat di kedua pipinya yang putih.
Sesuatu mengiris ulu hatiku!
Aku mengambil tisyu dan mengeringkan cairan bening itu dari pipinya.
"Aku sedih mendengarnya. Kamu tahu, Kristal. Aku kadang sering berdoa agar hubungan kamu dengan Bian abadi," kalimatku mengambang. Aku menjangkau teh botol dan membasahi kerongkonganku dengan cairan manis itu.
Janna menatapku tak berkedip. "Aku sendiri tidak tahu, Re. Kenapa Bian tega melakukan itu."
Ada isak tangis di sela-sela kalimat Janna.
"Kamu yakin Bian mengkhianati kamu?"
"Aku memergoki sendiri, Bian berjalan dengan mesra dengan seorang cewek."
"Mungkin itu saudaranya?"
"Bukan, Re. Saat itu juga aku menghampiri Bian. Dan Bian mengatakan kalau sebenarnya dia tidak mencintai aku!"
Aku tersedak.
"Begitu?!"
"Ya, Re. Menyakitkan. Aku seperti sampah tak berguna di depan cewek Bian yang baru. Aku malu, Re." Kini aliran sungai dari kelopak mata itu mengalir deras.
"Berarti Bian itu berengsek, Kristal! Dan, aku ingin memberi pelajaran padanya!" Sesuatu meledak di hatiku, memaksaku mengatupkan geraham dan mengepalkan tangan dengan keras.
"Ja-jangan, Re!"
"Kristal, aku pernah berjanji, aku tidak ingin siapa pun melukai hatimu!"
"Aku tahu, Re. Tapi bukan itu yang aku inginkan." Janna menghela napas.
Di luar cafe, angin bergerak gemulai. Menggoyang-goyangkan pucuk flamboyan dengan sesekali menerbangkan bunga-bunga dari rantingnya.
"Aku hanya ingin meminta maaf, Re. Selama ini aku telah membuat jarak dengan kamu," ucap Janna lembut. Menatapku untuk beberapa saat dengan mimik bersalah.
"Lupakanlah, Kristal. Aku maklum."
"Kamu masih menganggap aku sahabat, Re?" Janna menatapku dengan sungguh-sungguh.
Aku mengangguk. "Kamu masih sahabatku yang terbaik, Kristal."
Sesuatu kembali berkelebat di kelopak mata Janna. Mata bening itu kembali bersinar ceria. Dan aku menikmatinya.

***
SESUNGGUHNYA AKU CINTA KAMU

Siang, sepulang sekolah aku sengaja meninggalkan Janna. Bersembunyi di kantin lalu menunggu kelas Bian bubaran. Aku telah berjanji akan memberi pelajaran buat Bian yang sok playboy. Yang telah dengan lancang dan sengaja mencampakkan cinta tulus Janna.
Tepat pukul satu kelas Bian bubaran. Buru-buru aku berlari dan menjejeri langkah cowok bertubuh gempal itu.
"Kenapa kamu khianati, Janna?!"
Aku cegat langkah Bian.
Wajah cowok itu tersentak, sejenak, lalu menghentikan langkahnya. Ditatapnya mataku tajam, lantas tersenyum dengan pongah.
Ya, Tuhan!
Rasa-rasanya ingin kulayangkan sebuah tinju ke hidungnya yang bangir!
"Kamu ingin menjadi pahlawan?" lontarnya seringan kapas.
Teman-teman sekelas Bian mengerubuti aku.
"Pukul, Bi!" teriak salah seorang teman Bian yang berdiri di sisi Bian.
"Hajar!" Satu lagi kawan sekelas Bian membakar hati Bian.
Tanpa diselingi teriakan yang ketiga, Bian si Jagoan Sekolah melayangkan pukulan yang sangat keras ke wajahku.
Aku terhuyung sesaat karena tidak menyangka Bian akan bergerak secepat itu. Beruntung sebuah tiang menahan tubuhku. Lalu aku membalas, menghajar Bian dengan tendangan kempo. Bian terhempas oleh cangkungan kakiku tadi, tampak meringis berusaha menahan sakit. Namun secepat kilat tubuhnya yang gempal itu menerkam aku.
Siswi-siswi yang melihat adegan itu menjerit-jerit ketakutan.
Napasku tersengal saat tubuh kekar Bian menghimpitku. Berkali-kali bogem mentah miliknya hinggap di wajahku. Sampai suatu saat beberapa guru memisahkan perkelahian satu lawan satu itu.
Akhirnya, Bian dan aku diskors satu minggu akibat perkelahian memalukan itu!
Namun aku tidak menyesal, meski harus dikeluarkan dari sekolah sekalipun!
Membela dan melindungi Janna adalah harkat tertinggi dalam hidupku.
Aku tidak ingin ada orang yang menyakiti hatinya.
Tidak siapa pun!

***

Jam di ruang tengah berdentang satu kali.
Aku melirik jam di dinding kamarku. Pukul setengah tiga dinihari.
Kini mataku tertuju pada sebuah foto yang kupasang di dinding kamarku.
Foto Janna yang sengaja aku perbesar dan menjadi hiasan manis di kamarku.
Kutatap untuk beberapa saat sampai hatiku berbisik:
'Tuhan, apakah aku mencintainya?!'

***
SAMA-SAMA CINTA

Mula-mula sinar matahari pagi yang menyentuh mataku. Kepalaku terasa berat karena aku tidur terlambat. Hari Sabtu ini aku memang tidak masuk sekolah. Ini hari terakhir masa skorsku.
Aku bangkit dari ranjangku, dan sudut mataku tertumpu pada makhluk manis dengan seragam putih abu-abu sedang duduk di meja belajarku.
"Kristal?!" Mataku membelalak tak percaya.
Janna tersenyum.
"Sudah bangun, Re?" tanyanya sembari tersenyum.
"Kamu tidak sekolah?" tanyaku heran.
Janna menggelengkan kepala.
"Tadi ke sekolah sebentar. Tapi ada acara kerja bakti. Aku telepon ke sini. Kata Mama kamu, kamu belum bangun. Lalu, aku minta izin sama guru piket mengurai dalih sedang ada urusan keluarga, tidak ikut kerja bakti. Lalu, jadilah aku kemari," urai Janna ceria, mengangkat bahunya mengaba 'tidak apa-apa, kan?'. Mata beningnya bergerak indah. Menatap sesuatu yang tertempel di dinding kamarku.
Aku mengikuti pandangan mata kristal itu. Dan mukaku merah. Aku telah melakukan kebodohan. Foto besar Janna yang tertempel di dinding itu lupa kusimpan — tentu saja, karena siapa yang menyangka cewek itu akan datang mendadak lantas duduk sekarang di hadapanku!
"Mungkin kamu tidak akan percaya, Re, kalau aku juga menempel foto kamu di dinding kamarku," ungkap Janna dengan suara tertahan. Pipinya nampak memerah. Tetapi dia cepat mengalihkan paras wajahnya yang 'malu' itu dengan bergerak ke arah jendela, menarik gordin dan mementangkan daun jendela. Angin pagi yang sejuk menerobos masuk ke dalam kamarku yang mungil.
Aku terdiam, terkesima dengan pengungkapannya yang jujur.
"Selama ini kita sama-sama muna kan, Re?!" Janna mengalihkan pandangannya dari jendela ke wajahku.
Aku tertunduk. Tak berani menatap sepasang bola mata kristalnya yang tengah memancarkan kesungguhan.
"Aku takut melukai hati kamu, Kristal! Untuk itu, aku tidak pernah mengingkan sesuatu hal yang lebih dari sekadar persahabatan. Meskipun sebenarnya aku...."
"Kamu tidak pernah berterus terang, Re!"
"Sori, Re. Aku...."
"Kamu mencintai aku kan, Re?!" Janna berjalan mendekatiku, duduk di samping saat tiba di gigir ranjang.
Aku terkesiap. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku memang pengecut. Tidak pernah jujur dengan isi hatiku sendiri sehingga menciptakan tirai maya yang memenjarakan aku dalam siksaan yang luar biasa sakitnya.
"Ak-aku...."
"Tak perlu kamu katakan, Re! Dari sikapmu, tatapanmu, aku tahu kalau sebenarnya kamu mencintaiku!" Mata beningnya menatapku tajam.
Aku mengangkat wajah. Mencoba membalas tatapannya yang tulus. Dan beberapa saat kemudian kami saling berpandangan. Lama. Lama sekali. Tiba-tiba ada senandung indah menggelepar di ruang hatiku. Senandung cintakah itu?
Aku tersenyum. Menikmati kerjapan bening mata kristal milik Janna, dan membiarkan senandung cinta itu mengalun indah di hatiku.
Indah, seindah mata kristalnya.

TAMAT
Selengkapnya...

Read On 0 komentar

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009