Suling Emas Jilid 16

Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kim-mo-eng, hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya dan kini pedangnya mulai main Ilmu pedang Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya. Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar merupakan ilmu pilihan.

Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya.

Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa dan timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi. Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.

Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali ia dihujani jarum yanglebih banyak lagi.

Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat berbahaya, menyampok dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke belakang tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada penyerangan jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat ditahannya ! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.

"Pengecut keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya ke arah bayangan hitam yang tadi menyerangkan jarum-jarum rahasianya ke arah Kwee Seng.

"Locianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil memprotes. Akan tetapi pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini.

"Siapa butuh bantuanmu ? Kau pengecut curang patut mampus!" Pedangnya menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan ! Ini tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.

"Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.

"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."

"Keparat orang Khitan ! Kau telah bersikap pengecut!" Kembali pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke belakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.

Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis dan ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek ! Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan pipi basah air mata ia mendamprat Lu Sian.

Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya, menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"

Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada Kwee-taihiap ! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun aku... aku... ah..." Ia menangis lagi.

"Cici ! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.

"Ya ! Aku cinta padanya ! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain ! Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini ? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..." Sambil terisak Kui Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.

Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.

Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu ! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"

Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.

"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut, apakah kau hendak memilih batu kali ? Di mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng ? Siapapun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."

"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"

"Huh ! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan Kwee Seng ke dua di dunia ini."

"Tidak ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"

"Tak mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."

"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"

Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah. "Kau anak kecil tahu apa ? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"

"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.

Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.

"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya ? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu

Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia, sekali-kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi, sebulat-bulatnya.

Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong.

Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya serasa melayang-layang. Betapapun tabahnya, namun malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan begini mengerikan ?

Tiba-tiba... "byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin. Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya.

Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng! kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya tanpa dapat ia pertahankan lagi, disedot ke dalam air !

Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.

Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.

Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin.

Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin-kang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Di atas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.

Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap didalam pundak kanannya. Rambut awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.

"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah pingsan.

Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlika-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.

"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang.

Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam, tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.

Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walaupun mengandung peluapan hati berduka.

Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar" batu seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.

"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu."

Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun. Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang kang-ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam istana raja-raja !

Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.

"Locianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."

Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan akupun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, mahluk berjiwa apapun juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"

"Maaf, Locianpwe, saya kira bukan setan yang Locianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya..."

"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini dan Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia merasa penasaran dan terheran-heran mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.

"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.

"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan, "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.

Bersambung Jilid ke-17

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009