Suling Emas Jilid 28

Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak. "Hebat... ! Mereka orang-orang sakti ! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka ?"

Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.

"Siapakah mereka...?" tanya Kubakan.

"Aku tidak tahu..." jawab Bayisan bingung.

"Jangan-jangan..." Kubakan menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.

"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu ? Malam ini kita harus turun tangan..."

Kembali Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat.

Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba di depan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung "kuda" dan sekali tubuhnya itu terbang cepat ke arah sasaran.

"Cap-cap-cap-cap!!!" Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatang pun luput. Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang ridak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap di atas gagang tiga belas buah pisau terbang papnglima muda ! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa "orang gila" itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap di gagang hui-to yang tadi ia lepaskan.

Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan "kuda" itu meloncat berdiri di atas dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak, keuda tangannya bergerak ke depan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan ke arah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah !

Tanpa mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya !

"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga ! Aku harus mencobamu!"

"Kakek cebol menjemukan ! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?" Kwee Seng menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (tekebur). Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali.

Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak. "Aha-ha-ha ! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu laagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!"

Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin itnggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat. Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak !

Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya.

Kalisani mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri ? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"

Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakkukan perondaan di dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."

Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.

Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan.

Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.

"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"

"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.

"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku...."

Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran. "Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya ? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi."

"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."

"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita ? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"

"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."

Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.

Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka.

Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila.

Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.

"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?" Seorang di antara mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."

"Goblok ! Apa kau hendak membantah perintahnya ? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."

"Ahhh...!" Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.

"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu turun ke dalam air perlahan-lahan, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat. Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mangkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.

"Krakkkk!" Batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika !

"Eh, apa itu...?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.

"Aiihhh, Kanda... celaka...!" Disusul jeritan Tayami karena pada saat itu, perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air ! Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi mereka.

Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut.

"Tolonggg...!" Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan mulut.

"Dinda...!"

"Kanda Salinga... ooohh...!" Mereka saling menangkap tangan, akan tetapi justeru ini membuat gerakan mereka mengurang dan tubuh mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi gelagapan. Pada saat itu, entah darimana datangnya, sebatang pohon meluncur di dekat mereka.

"Dinda Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga berseru girang. Tak lama kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan Salinga, Tayami sudah duduk di atas batang pohon sambil muntahkan air yang telah banyak diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang pohon itu agar jangan bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai, akan tetapi untuk sementara mereka selamat.

"Kanda... mengapa perahu kita terguling..?"

"Entahlah, tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung batang ini ke pinggir..." Dengan susah payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang itu ke pinggir akan tetapi karena tidak didayung, batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus sungai.

Pada saat itu, terdengar suara "huuukk.. huuukkk...!" dan menyambarlah seekor burung yang matanya berkilauan seperti mata kucing.

"Ihhh... burung hantu...!" seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang keluarga.

“Ia... membawa bungkusan...!" seru pula Salinga terheran-heran. Betul saja. Kuku burung itu mencengkram tali di mana tergantung sebuah bungkusan kecil. Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis ini tidak cepat-cepat mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang, melainkan melepas tali dan bungkusan itu jatuhlah ke depan Tayami, tepat di atas batang pohon !

"Ada tulisannya!" Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan jelas di atas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat terbaca di bawah sinar bulan.
"LEKAS PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI BEDAK BARU MALAPETAKA DAPAT DICEGAH."
Tayami membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga. "Apa artinya ini?"

"Entahlah, Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka lalu tiba-tiba ada batang pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar menyeramkan sekali. Kausimpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan kaki agar dapat minggir." Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi sedikit batang kayu itu bergerak ke pinggir.

Sementara itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu, cepat-cepat menyelam dan berenang ke pinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka muncul di pinggir dan meloncat ke darat, mereka kaget sekali karena di depan mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan ketika mereka mengenal laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan, mereka menjadi ngeri.

"Heh-heh-heh, setelah membunuh lalu lari, ya?" Kwee Seng menegur. Tentu saja mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan membunuh puteri mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui orang, tentu mereka akan celaka, maka sekarang mendengar bahwa jembel gila ini sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang bertubuh tinggi besar itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng ! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok masing-masing sampai hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok yang menyerangnya itu membalik dan "makan tuan". Sejenak ia memandang dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ke tiga yang melarikan diri ketakutan.

"Ke mana kau hendak lari?"

"Am... ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk... akan tetapi hamba terpaksa... kalau tidak mau melakukan tentu akan dibunuh..."

"Hemm, aku mendengar tadi keraguan melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu melakukannya?"

"Panglima Muda Bayisan..."

"Mengapa ? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?"

"Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu setelah ... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu..."

"Hemmm..." Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari ke arah kuda mereka, meloncat ke punggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.

"Aku merasa kuatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja." Kata Salinga.

Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana. "Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapapun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!" Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata.

"Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat."

Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya. Setelah para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan pakaian bersih, lalu hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka, "Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri."

Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari ke luar dan Tayami duduk di atas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah malapetaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di telinganya. Salinga benar juga, pikirnya. Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah malapetaka apakah ? Di sini aman saja. Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh di atas meja dekat pembaringan.

Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai, penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang seperti setan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun ketika kaki mereka menginjak genteng ? Dan dua pasang mata itu memandang kagum ke dalam kamar pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan terpesona dan kaagum melihat gadis puteri mahkota yang cantik jelita itu ? Melihat di ditukar pakaiannya oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri di dalam kamar yang indah.

Kwee Seng yang datang terlebih dulu karena sejak tadi ia dari jauh mengikuti puteri ini, bersembunyi di sudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan mengintai ke dalam pula, seperti dia ! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan di dalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat !

Tayami yang sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat. Apakah maksudnya pengirim obat ini ? Benarkah burung itu bukan burung biasa ? Ataukah disuruh oleh orang sakti ? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa salahnya ? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang tersenyum-senyum, Bayisan !

"Kanda Panglima Bayisan...! Apa artinya ini ? Mengapa kau masuk ke sini secara begini?" tayami bertanya gagap.

Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis di depannya, mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar penuh perasaan, "Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah cantik engkau...., bisa gila aku karena berahi melihatmu...."

Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemerahan. "Kanda Panglima ! Apakah kau sudah gila ? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini di depanku ? Pergi kau keluar ! Kau tahu apa yang akan kauhadapi kalau kuadukan kekurangajaranmu ini kepada ayah!"

Bayisan tertawa mengejek. "Huh ! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku daripada menjadi isteri seorang berdarah seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku sudah terlalu lama menahan rindu berahiku...!" Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, mataya yang agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.

"Bayisan, berhenti ! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Ke mana hendak kau taruh mukamu?"

"Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena... karena terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan."

Mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia tahu amat lihai. Tayami menjadi makin panik. Sambil berseru keras ia melompat ke samping, menyambar pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung di dinding, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah leher. Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat, karena Tayami adalah seorang puteri mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat puteri mahkota ini tak ada artinya.
"Heh-heh, Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri kepadaku!"

"Keparat ! Jahanam berhenti iblis ! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah ? Tak ingatkah kau bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda ? Lupakah kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku dengan Salinga ? Bayisan, sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal lehermu!"

"Heh-heh-heh, Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggallah, sayang. Tanpa kepala pun aku masih akan mencintaimu!" Bayisan mengejek dan betul-betul ia mengulur leher mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium pipi gadis itu.

Tayami marah sekali, pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu dengan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang menyambar lewat, jari tangan Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan... pedang itu terlepas dari pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar !

Bayisan sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu ke depan mukanya, mencium rambut sambil berkata lirih, "Alangkah indahnya rambutmu... halus... ah, harumnya..."

Tayami kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah saja Bayisan menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua tangan gadis itu kini tertangkap oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.

"Kaulihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!" Tangan kirinya mengelus-elis dagu yang halus. "Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki manapun juga di Khitan ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh Tayami terguling ke atas pembaringan.

Gadis itu takut setengah mati, lalu nekat, menerjang maju lagi sambil melompat dari atas pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari tangan Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat yang membuat seluruh tubuhnya menjadi seperti lumpuh ! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap pipi gadis itu sambil tertawa.

"Heh-heh, betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak sama sekali, bukan ? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juitaku. Aku ingin kau menyerahkan diri secara sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya. Nah, bebaslah dan kuberi kesempatan berpikir." Tangannya menotok lagi dan benar saja. Tayami dapat bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ai mau menyerah ! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit, karena tadinya, selain terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang katanya telah merobohkan semua penjaga dan pelayan, juga tadinya ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui orang luar. Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli lagi dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat mengeluarkan suara!

"Heh-heh-heh, jalan darahmu di leher kutotok, membuat kau menjadi gagau ! Nah, insyaflah, Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat kaulakukan untuk menolak kehendakku ? Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah cintaku...." Bayisan melangkah maju lalu memeluk.

Tayami memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak terasa agaknya oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi muka Tayami, mebujuk-bujuk dan terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil memandang dengan mulut menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali.

Celaka pikirnya. Tidak ada senjata lagi. Tiba-tiba Tayami teringat akan bungkusan bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai mata, tentu untuk sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan baginya untuk lari ke luar kamar. Bayisan sudah hendak memeluk lagi. "Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau layanilah hasratku...."

Tiba-tiba Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu keras juga dan mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan menyambar dan segumpak uap putih menghantammuka Bayisan yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran, Tayami cepat melompat ke belakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.

"Kau... kau apakan mukaku ? Tayami... kau gunakan apa ini...?" Ia terhuyung-huyung menuju ke meja rias di mana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti bukan suara manusia lagi.

Tayami yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya tak sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak gentar menghadapi perang, sudah biasa melihat mayat bertumpukan sebagai korban perang, melihat orang terluka parah. Akan tetapi peristiwa yang mereka hadapi sekarang ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki mukanya. Menggigil kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh racun itu, betapa mukanya akan tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya.

Kembali Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan. "Kau... kau... setan betina... kucekik lehermu sampai mampus..." Ia menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya meraih ke arah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut jarum hitam yang menancap di pundak kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak ke atas. Di sana, di celah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang muda yang rambutnya riap-riapan. Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget setengah mati melihat pundaknya dilukai orang dengan jarumnya sendiri, kini melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi membikin kacau, teringatlah ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak Liong-kwi-san.

"Liong... kwi.... san ...." Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.

Bersambung Jilid ke-29

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009