Pendekar Kelana Jilid 1

Pendekar Kelana
Jilid 01

Pegunungan itu jelas memperlihatkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon kehilangan banyak daunnya, bahkan ada di antara pohon-pohon yang gundul. Cabang dan rantingnya mencuat kering ke sana sini. Sebatang pohon besar nampak menyendiri di antara pohon-pohon yang layu. Pohon ini nampak masih hijau segar. Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air jauh di bawah permukaan tanah yang kering kerontang itu. Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak terbuka dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Kalau angin berhembus kuat, nampak debu mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar teriknya, dan sedikit gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang di nanti-nanti itu. Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput.

Beberapa ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah anak sungai. Seorang laki-laki setengah tua yang sama kurusnya meniru usaha kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau. Untuk dimakan! Daripada mati kelaparan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah, diambilnyalah apa saja yang masih hijau dan masih hidup, untuk dimasak dan dimakan!

Jauh di atas, beberapa ekor burung beterbangan. Mereka itu lebih beruntung karena dengan sayap mereka, mereka mampu terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang amat kurang bagi mereka dan serangga-serangga ini menjadi makanan burung.

Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.

Dusun Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda malapetaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang berada di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan penduduk dusun. Hanya sekedar untuk minum. Tubuh yang kurus kering dengan pakaian compang-camping itu kulitnya kelihatan kering dan dimakan kutu penyakit gatal. Perut anak-anak membesar walaupun kaki tangannya mengecil, tanda dari busung lapar.

Memang ada beberapa orang kaya di dusun itu, yang menjadi tuan-tuan tanah. Namun mereka sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat di sekitar mereka. Mereka menutup pintu gudang yang penuh beras dan gandum itu rapat-rapat. Kalaupun ada yang mau menolong, tentu ada pamrihnya. Yang memiliki anak gadis cantik dan bersih, ditolong dengan menyerahkan gadisnya kepada si hartawan untuk di tukar dengan beberapa karung gandum atau beras.

Keluarga Si Cun termasuk satu di antara para keluarga miskin itu. Si Cun sudah berusia limapuluh tahun dan isterinya beberapa tahun lebih muda daripada dia. Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang anak perempuan dan yang dua orang lagi anak laki-laki. Anak perempuan itu bernama Si Kiok Hwa, anak kedua bernama Si Leng dan yang ketiga bernama Si Kong, karena sudah tidak dapat lagi memperoleh makanan, maka ketika Hartawan Lui yang tertarik kepada kecantikan Kiok Hwa menurunkan bantuan, Si Cun terpaksa menyerahkan Kiok Hwa untuk menjadi selir hartawan itu, menukarnya dengan lima karung beras. Sungguh patut dikasihani nasib Kiok Hwa yang baru berusia enambelas tahun itu. Ia dipaksa menyerahkan dirinya kepada Hartawan Lui yang usianya hampir tujuhpuluh tahun itu. Akan tetapi ia menerima nasib. Kalau ia tidak mau, berarti ia sekeluarga akan mati kelaparan.

Lima karung beras itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Dan tak mungkin mengharapkan uluran tangan dari Kiok Hwa. Anak perempuan itu seakan-akan telah mati bagi keluarga Si, karena dilarang keluar, apalagi memberikan apa-apa kepada keluarganya.

Pada suatu hari, Si Leng, anak yang kedua itu, tidak pulang kerumah. Tentu saja ayah ibunya dan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun menjadi bingung dan mencari kemana-mana. Akhirnya beberapa orang tetangga datang menggotong Si Leng yang berusia empatbelas tahun itu dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Menurut cerita para tetangga, Si Leng hendak mencuri di rumah Hartawan Lui, naik kepagar tembok dan ketahuan penjaga yang mengejarnya dan membacoknya dengan golok sehingga anak itu tewas!

Si Cun sekeluarga menangis dan meratapi kematian anak mereka. Mereka tahu benar bahwa Si Leng pergi kesana bukan untuk mencuri, melainkan untuk menemui kakak perempuannya dan minta bantuan. Untuk masuk melalui pintu depan tentu tidak mungkin dan akan diusir para tukang pukul. Maka dia naik ke pagar tembok dengan harapan bertemu dengan encinya di bagian belakang gedung itu. Akan tetapi nasibnya buruk dan dia ketahuan tukang pukul, dituduh mencuri dan dibunuhnya! Si Cun tidak berdaya. Mau melapor kemana? Yang berwajib di dusun itu adalah Lurah Ciu. Dan lurah ini tentu akan menyalahkan Si Leng yang dituduh mencuri dan memarahi Si Cun yang dikatakan tidak dapat mendidik anaknya.

Kiok Hwa yang berada di gedung Hartawan Lui itupun mendengar tentang adiknya yang terbunuh karena meloncati pagar tembok, akan tetapi iapun hanya dapat menangisi kematian adiknya itu, tak dapat berbuat apa-apa.

Dalam keadaan terhimpit itu, Si Cun terpaksa menggadaikan sawahnya kepada Hartawan Boan, seorang hartawan lain di dusun Ki-ceng. Dia memperoleh hanya sepuluh tael perak dan hutangnya itu dibebani bunga yang tinggi, sepuluh prosen sebulan. Tanah itu menjadi milik hartawan Boan sampai Si Cun dapat mengembalikan utangnya berikut bunganya.

Uang sepuluh tael perak itu dibelikan beras, akan tetapi keluarga yang hanya tinggal tiga orang ini setiap hari harus makan bubur yang banyak airnya, itupun dibagi-bagi di antara tiga orang itu.

Ketika hujan mulai turun, uang itupun habis. Untuk mengembalikan uang yang sudah menjadi dua puluh tael itu tentu saja Si Cun tidak sanggup. Dan karena tanahnya dikuasai hartawan Boan, terpaksa Si Cun bekerja kepada tuan tanah sebagai buruh tani! Dia mulai mencangkul tanah miliknya sendiri menjadi buruh tani. Curahan keringatnya untuk menyuburkan hasil sawah itu hasilnya bukan untuk dia, melainkan untuk tuan tanah Boan dan dia hanya kebagian sepersepuluh bagian. Hanya bisa pas saja untuk makan setiap harinya, dan tidak ada sisa untuk ditabung sebagai pembayar utang. Dengan sendirinya, hutang itu makin menumpuk, tertimbun bunganya sehingga setahun kemudian, hutang sudah menjadi berlipat ganda! Si Cun kehilangan anak gadisnya, kehilangan anak kedua, dan kehilangan sawahnya pula!

Setiap malam Si Cun dan isterinya merenungi nasib mereka dan air mata Nyonya Si Cun sampai habis terkuras karena setiap malam menangis. Mereka bertiga bekerja di sawah dari pagi sampai petang. Bahkan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itupun membantu mencangkul di sawah.

Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya memiliki makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan. Sedangkan si miskin yang tinggal di sebelah rumahnya, demikian melaratnya sehingga untuk makan saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu? Sama sekali tidak. Bahkan mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar bertahan hidup. Menyedihkan memang. Apalagi melihat si kaya membeli barang-barang mewah yang tidak perlu. Padahal, uang yang dihamburkan itu dapat menghidupi banyak keluarga miskin. Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli senjata untuk mempertahankan diri. Padahal, uang untuk membeli senjata itu akan menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan. Alangkah baiknya kalau dalam kehidupan ini manusia saling menolong, bangsa saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan kebencian!

Musim kering telah lewat. Sawah ladang nampak hijau segar. Lautan daun padi nampak menghijau dan kalau angin bertiup daun-daun itu seperti menari-nari, merayakan musim panen yang segera tiba. Akan tetapi semua yang serba indah itu bagaikan ejekan bagi keluarga Si. Sewaktu mereka bertiga menjaga sawah yang mulai berbuah, mereka merenungi nasib mereka, seakan tenggelam dalam lautan menghijau itu.

Dengan bekerja keras tak mengenal lelah, Si Cun dan isterinya akhirnya dapat juga memetik hasilnya. Biarpun hanya memperoleh sepuluh bagian, namun karena hasil sawahnya banyak sekali, mereka dapat menjual hasil itu dan mengembalikan hutang kepada Hartawan Boan sebanyak duapuluh lima tael. Sawah itu kembali kepada mereka!

Hidup mereka tetap miskin, sisa hasil sawah yang dijual dapat menahan mereka dari ancaman kelaparan, akan tetapi mereka harus berhemat. Makan dikurangi, pakaianpun tidak membeli melainkan memakai satu-satunya pakaian yang melekat di badan! Kalau sedang mencuci pakaian, mereka hanya menggunakan selimut butut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang.

Pengalaman pahit membuat seseorang menjadi kebal dan pengalaman itu tidak terasa pahit lagi. Makan sedikit bubur dengan garam tidak mendatangkan kesedihan bagi orang yang sudah terbiasa dengan makanan itu. Kehidupan yang keras dan sulit tertanam dalam-dalam di jiwa Si Kong sehingga anak ini dapat mandiri dalam usianya yang baru sepuluh tahun. Dia menjadi seorang anak yang tabah dan tidak cengeng. Dia seolah lupa lagi untuk menangis karena di waktu kecilnya sudah terlalu banyak menangis. Tubuhnya pun menjadi kokoh kuat, tulang-tulang mengeras dan daya tahannya luar biasa. Dia mampu mencangkul sehari penuh tanpa istirahat dan hanya makan semangkok bubur encer!

Kemalangan bagi seorang manusia kadang datang secara bertubi-tubi. Baru saja keadaan keluarga Si sedikit membaik, tanahnya sudah kembali kepada mereka, timbul wabah penyakit di dusun Ki-ceng. Di antara orang-orang yang terkena penyakit ini, termasuk Si Cun dan isterinya! Karena keadaan, maka penghidupan mereka tidak dapat disebut bersih. Dan inilah yang membuat mereka kejangkitan wabah penyakit itu. Dan dalam waktu sepekan saja, Si Cun dan isterinya berturut-turut meninggal dunia!

Dunia rasanya kiamat bagi Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itu! Bagi Si Kong dan mungkin kebanyakan orang, peristiwa itu dianggap keterlaluan seolah Tuhan tidak adil! Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja! Tuhan Maha Adil! Hanya jalan yang di tempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu itu rahasia besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita. Bagi kita hanya ada satu sikap. Yaitu, berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin, akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah! Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Mengapa terjadi begini atau mengapa terjadi begitu, berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma tidak akan pernah menyimpang seujung rambutpun. Dan kita harus menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!

Atas nasihat para tetangga, Si Kong terpaksa menjual sawah dan rumah gubuknya, untuk membiayai pemakaman ayah ibunya. Dia menggunakan uang penjualan sawah dan rumah itu membeli peti mati dan semua keperluan sembahyang, kemudian dilayat oleh para tetangga, ayah ibunya dikuburkan secara sederhana.

Semua tetangga yang melayat sudah meninggalkan tanah kuburan itu, akan tetapi Si Kong tidak mau pergi. Beberapa tetangga mencoba untuk membujuknya, akan tetapi Si Kong berkeras tidak mau pergi sehingga akhirnya orang meninggalkannya di depan sepasang makam itu.

Si Kong mendekam berlutut di depan kuburan ayah ibunya sambil menangis. Suaranya sampai habis dipakai menangis sejak kemarin. Dia merasa berduka dan nelangsa sekali. Kini dia hidup seorang diri, yatim piatu. Satu-satunya saudaranya hanyalah Si Kiok Hwa, namun encinya itu telah "dipenjara" dalam gedung Hartawan Lui, tidak dapat dijumpainya. Bahkan mungkin encinya itu tidak tahu akan kematian orang tuanya.

Si Kong terus mendekam dengan menyentuh tanah. Perut lapar, seluruh tubuh lemah lunglai, tidak dirasakan lagi. Kalau mungkin dia tidak akan bangkit lagi selamanya, ingin berada di situ bersama makam ayah bundanya yang tercinta. Akhirnya, tubuhnya yang tidak kuat dan diapun tergolek pingsan.

***********



Penasaran Ingin tahu kelanjutannya Pendekar Kelana Jilid 1

Download selengkapnya disini

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009