Suling Emas Jilid 30

"Wah... celaka... cukuplah kita main-main." Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu melayang-layang di atas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.

Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti orang jerih dan lari?

Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil jauh di depan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.

Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap di belakang pohon. Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah panglima tua!

Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat Si Kakek Cebol, tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

"Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudilah Locianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa pun yang locianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga teecu."

Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata, "Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai gurumu!"

Setelah berkata demikian, kakek cebol itu menggerakkan telapak tangannya ke arah kepala Kalisani. Bekas Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. Celaka, pikirnya, mati aku sekali ini! Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!

Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang! Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu.

Kalisani meringis , kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus ke dalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur tanah sambil berkata, "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"

Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"

"Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi, teecu sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat di hati, yaitu menjadi murid suhu."

"Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biarpun kedua kakimu akan patah-patah!"

Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!"

Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem di waktu malam!

Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.

Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Di mana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!

Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.

Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya. Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan.

Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran. Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!

Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata.

Liu Lu Sian telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta!

Ada juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!

Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya.

Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.

Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.

Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.

"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!" tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.

Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata, Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.

Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!

Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat. Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis" bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.

Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.

Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini "pasang aksi" ketika matanya memandang Lu Sian.

Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.
"Tamu tak diundang datang kemari apakah hendak menyerahkan diri?"
Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang, "Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi." Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.

"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa..." Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja! Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi. Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya siap untuk membantu kalu laki-laki itu menghadapi bahaya.

Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.

"Menyerahkan diri membayar hutang baru si Kecil diantar pulang!" Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
"Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?"
Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.

Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!

Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian ke arah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah leher laki-laki gagah. Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biarpun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau Si Laki-laki tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya telah terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat daripada tadi ke arah Si Penyerang.

"Auuuhhh...!" Pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangka-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap di paha kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!

Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok ke arah leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali. Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur ke depan seperti anak panah melesat dari busurnya.

"Tranggg! Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang menjadi beberapa detik mengherankan sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dariatas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu di udara, kemudian dalam detikselanjutnya, tangan dua orang pengemis yang memegang senjata itu telah tertusuksumpit, tembus di telapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.

"Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang bagus!"

"Sambitan yang luar biasa!" Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu keluar dalam waktu bersamaan,mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan "ada rasa"! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah keluar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang berwibawa.

"Aku Tan Hui adalah laki-laki tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Kong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Kong-sim Kai-pangmengganggu anak kecil? Kalu ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakana kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri. Pergilah!"

Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh terguling! mereka merangkak bangun, meringis kesakitan, lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.

"Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan Hui?"

Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya. "Aku bukan apa-apa dengan orang gagah ini, adapun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala kalian!"

Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu.

Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.

Di lain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari di hadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika ia memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang terurai di kening, benar-benar membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

"Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi." Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika bicara, matanya bersinar-sinar. "ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi..."

Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan. "Eh, Tan-enghiong, kau kenapa....?" Tegurnya, tersenyum manis.

Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar. "Eh... oh... kau... kau hebat sekali..."

Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata, "Apkah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?"

Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu, merah sekali mukanya ketika ia berkata. "ah..., silakan, Nona. Mari silakan duduk." Mereka duduk semeja, saling berhadapan. "Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"

Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini menjadi keruh kembali. "Panjang ceritanya, nona. Akan tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kauantarkan seguci arak dan daging sekati."

Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh hormat. "Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"

"Sudahlah tolong kau sediakan pesananku." Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Adapun pelayan lain melihat rumah itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari ke luar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat kerjanya!

"Aku mempunyai banyak musuh." Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas panjang, semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa orang membenciku...."

"Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang jahat." Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati.

Tan Hui mengangguk. "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan Khong-sim Kai-pang. Lima orang angguta Khong-sim Kai-pang melakukan penyelewengan setahun yang lalu di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa, tidak itu saja, malah seorang di antara mereka telah menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh Si Penculik."

"Kenapa tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian memotong. Tan Hui menghela napas.

"Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti sampai di situ. Tidak tahunya, ketika kau melakukan perjalanan, aku dihadang dan dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang memendam atas kematian seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biarpun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang lalu..." Sampai di sini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.

"Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar mereka datang mencari mati. Yu Jin Tianglo kalau membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!"

Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denga Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?

"Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."

"Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan kuatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!"


Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian maka ia makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya!.

Dengan muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih atas perhatian Nona terhadap perkaraku."

"Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi." Jawab Lu Sian.

Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya. "Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu...aku hidup sebatang kara, mengapa mereka mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun...".

Lu Sian terkejut dan merasa agak kecewa. "Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara... tapi kau... mempunyai anak?"

Melihat kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka. "Memang aku sebatang kara...semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota Khong-sim kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri kepada mereka!"

"Ah... begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang harus bertanggungjawab menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!"

"Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua di luar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di sini, siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"

"Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!"

"Nona Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu yang amat berharga itu. Akan tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak..."

"Aku tidak takut!"

"Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi... aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat, tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."

Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat. "Apa peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangmu? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang... janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda mana yang lebih cocok lagi?"

Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula! Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan. "Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"

"Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun telah begini berubah!"

"Kaulihat saja bagaimana aku menghajar mereka!" Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat keluar menghadapi dua orang pengemis tua yang berdiri di depan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada di sampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago gin-kang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jerih kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap mata ia tersusul!

"Nanti dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja. "Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."

Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua orang pengemis tua itu sambil berkata,

"Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang, aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggotanya tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa di antara Khong-sim Kai-pang dan aku, tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan di antara kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!"

Di dalam ucapan Tan Hui ini, biarpun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi, sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapapun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang daripada menggunakan lidah dalam menghadapi orang-orang macam itu.

Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si Tongkat Ular ini berkata,

"Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi!.

Bersambung Jilid ke-31

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009