Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu. "Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan
dibunuh di depan matanya?
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!" "Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya. "Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
"Akan tetapi kebenaranmu sendiri itu menyeleweng daripada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan semua temannya membenarkan, sikap mereka mengancam.
Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang yang sedang terluka!"
"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bamboo! Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat gerakan memutar sehingga terbebas daripada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata!
Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata, para pengeroyok berteriak ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika. Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng. Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari. Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?
"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi,
Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.
Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak!
Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.
Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya. Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling.
Bersambung Jilid ke-60
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan
dibunuh di depan matanya?
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!" "Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya. "Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
"Akan tetapi kebenaranmu sendiri itu menyeleweng daripada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan semua temannya membenarkan, sikap mereka mengancam.
Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang yang sedang terluka!"
"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bamboo! Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat gerakan memutar sehingga terbebas daripada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata!
Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata, para pengeroyok berteriak ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika. Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng. Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari. Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?
"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi,
Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.
Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak!
Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.
Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya. Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling.
Bersambung Jilid ke-60
Posting Komentar