Suling Emas Jilid 67

Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma.

Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup. Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?

Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.

Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.

Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan? Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!

Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang! Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng.

Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali. Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"

Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.

"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja..."

Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.

"Benar sekali cerita mereka...."

"Apa maksud Siocia...?"

Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."

"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..."

"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga..."

Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk..."

"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"

"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."

"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"

"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."

"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."

"Siocia..." Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.

Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!

Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar. Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal.

Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi!

Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat. Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.

Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.

Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal malapetaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini. Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan.

Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa malapetaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran. Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali.

Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya. Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!

"Aku tahu kau akan datang..."

"Aku pun tahu kau menanti di sini..."

Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.

Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya erat-erat. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini. Keduanya mabok lupa, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum... mati!

Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu saudara loba, dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, diikuti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. mesra. Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!

Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!

Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.

Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh. Suma Ceng menjerit tertahan Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!

"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.

Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.

"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya. Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?

Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya. Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah. Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon.

Kemudian mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya sendiri dari suhunya, Kim-mo Taisu.

Bersambung Jilid ke-68

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009