Suling Emas Jilid 77

Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung. Jauh dibawahnya, para perajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki lwee-kang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.

Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan, meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun suara maupun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.

"Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"

Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu, kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"

Kim-mo Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah. Namun, musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapapun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena, andaikata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!" Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan perajurit yang berdiri menghadang jalan keluar!

Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!

"Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya. Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh dan memang tidak terlalu pagi mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet dan tambur orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri. Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkah menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain mencegah dan mematahkan serangan gelap.

Dengan ilmu lari cepatnya, Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di lereng puncak, tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan juga amat megah dan indah tampaknya. Barisan itu seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, ke empat penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian seragam yang berbeda-beda.

Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang amat gemuruh itu dari tempat tinggi ini hanya terdengar gemanya saja, seperti sekumpulan tawon merah. Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian perajurit-perajuritnya.

Dengan hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikitpun ia tidak merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguhpun ia dapat menduga bahwa Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa pembantu-pembantu. Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih. Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan. "Rettt!" Mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih, matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan. "Rettt!" lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak didengar.
"Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat namanya!
Biar raja kalau berwatak srigala, dia melebihi iblis!
Biar srigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor harimau pun bisa mengalami bencana !
Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!"
Kim-mo Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong, seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan saja. Apalagi disebut-sebut tentang srigala-srigala yang hendak mengeroyok, maka sang harimau lebih baik pergi jauh. Tak salah lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya!

Ketika Kim-mo Taisu mendekat, tampaknya olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula? Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biarpun lukisan itu hanya hitam putih, namun hidup sekali. Mata empat ekor srigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor srigala yang buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang sang harimau.

"Lukisanmu indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.

Orang itu kelihatan kaget bukan main, kedua mouw-pitnya sampai melayang ke atas dan sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar terang kekuningan, tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap dengan pedang di depan dada, ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu dengan tangan kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di antara tangan kirinya!

Mereka saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.

"Maafkan saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengan nyanyian Saudara, tak mungkin saya lewat begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang begini mengagumkan!"

Tiba-tiba orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo! Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).

Bersambung Jilid ke-78

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009