Suling Emas Jilid 87

Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenagan sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar. Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang, bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring daripada tadi!

"Kembalikan anakku...!" Sam Hwa berteriak marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!

A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau merampok anak orang di tengah jalan?"

Suling Emas tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, susungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu di dalam istana."

Tentu saja tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya mereka ketahui, tak pernah diperkenalkan keluar. Bagaimana orang muda ini bisa mengenal mereka? Biarpun mereka bertiga itu kini bekerja sebagai pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah bekas perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang ahli silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.

Karena maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai bicara segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan pribadi kami? Andaikata benar kami menculik seorang Pangeran Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Bibi Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga sudah pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalin sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah anak buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas perintah Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi setelah mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuh dengan kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan kalian menculik anak orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku harus mengembalikan anak ini kepada orang tuanya."

Sejenak tiga orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya. Akhirnya Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau? Pengawal istana? Siapa?"

Suling Emas menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa masih mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak baik? Seyogianya orang-orang setua kalian ini menenteramkan pikiran membersihkan hati menanti kematian."

"Eh, bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju. "Tak peduli ia pengawal atau bukan, anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.

Karena merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau mengembalikan pangeran kecil yang mereka cuik, tiga orang ini serentak menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang, mereka berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus menangis keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan mengandung tenaga yang hebat. Namun tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya, serbuan tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan ketiga orang anak buah Kong lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan kanan yang terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka berdiri memandang Suling Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

"Suling Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu. sebagai pembantu-pembantu kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to, biarpun mereka jarang datang ke pulau itu.

Suling Emas menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan mendiang Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah berkata demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.

Tiga orang tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti itu bukan lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan tetapi muridnya itu? Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka bukanlah tandingan orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.

Hati Suling Emas merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat mengejarnya. Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam pondongannya.

"Sssstttt, diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka dan tampak muka anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena banyak menangis. Mata yang bening itu memandang penuh selidik ke arah wajah Suling Emas.

"Nah, begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan yang aman. Belum juga sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang, berpakaian bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang danketika bersimpang jalan dengan Suling Emas, rombongan ini segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas, "Hee, berhenti dulu!"

Suling Emas berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang bertugas mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak itu ditangan kirinya, ia membalikkan tubuh menghadapi mereka.

"Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang. Tujuh orang pengawal itu memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak mereka berseru girang.

"Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya, selimutnya....!"

Pemimpin rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan, keningnya berkerut-kerut, lalu membentak,

"Heh, orang muda! Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas..."

"Ssstttt....!!" Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang mulai menangis lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa dia tidak suka akan suara berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"

Seketika berubah sikap komandan pasukan kecil itu. ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi karena mereka itu mengingat bahwa anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda, tentu mereka celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka menjadi bingung.

Suling Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat mukanya. Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya, saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan meniup suling itu dengan tangan kanan.

Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah air mata, anak itu memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang pengawal juga ikut tertawa!

"Kalian jangan banyak ribut. Aku justeru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan aku penculiknya, melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau kalian ribut-ribut lagi dan anak ini menangis, jangan tanya dosa!" Suling Emas dengan Gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka lega.

Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya, karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan didepan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.

Bersambung Jilid ke-88

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009