Mata Elang II

By Hey Sephia

Niken baru saja menyalakan telepon genggamnya setelah beberapa langkah keluar dari perpustakaan yang terletak di gedung utama Fakultas Kedokteran UI, ketika telepon itu berdering. Dari nadanya Niken sudah menebak siapa yang menelepon. Nada itu memang
dibuatnya khusus untuk..

"Pandu!" kata Niken menjawab telepon tersebut. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar sudah keluar dari gedung perpustakaan tersebut, Niken lalu meneruskan, "Kamu seperti tukang ramal saja. Tahu-tahunya kalau aku baru saja menghidupkan telepon ini?"

"Bagaimana tidak tahu? Dari tadi aku berusaha menghubungi kamu. Sudah kira-kira dalam sejam ini tiap lima menit aku telepon kamu. Apa nggak ingat kalau kita janjian ketemu di internet sore ini sekitar... hmm.. sejam yang lalu? Kamu ini di mana sih?" tanya Pandu tidak sabar.

"Oh...sori sori, Ndu. Aku lupa. Ada tugas anatomi yang belum aku selesaikan. Baru saja aku keluar dari perpus, buku-buku yang aku ingin pinjam ternyata sudah 'out' dipinjam semua. Terpaksa aku ambil materi dari jurnal-jurnal medis. Mudah-mudahan saja boleh. Aku tadi bermaksud telepon sebelum berangkat ke perpus, tapi aku tergesa-gesa, bahkan belum sempat makan siang. Ini kamu masih di internet cafe?", tanya Niken yang merasa bersalah karena mengingkari janjinya. Kalau saja tangannya yang satu tidak membawa hp, dan yang satunya lagi tidak penuh jurnal dan folder, dia pasti sudah menepuk dahinya berulang-ulang.

"Sudah nggak. Aku cuma bawa uang ngepas untuk satu jam. Karena sudah lewat satu jam, ya aku pulang. Habis ini kamu langsung pulang? Nanti aku telepon lagi kalau kamu sudah sampai kost. Lebih murah telepon ke kost kan daripada telepon ke hp, Fei."
Fei adalah panggilan kesayangan Pandu untuk Niken. Di dunia ini kecuali Pandu cuma beberapa orang di keluarganya saja yang memanggilnya Fei.

"Iya. Ini aku bawa banyak jurnal dan folderku berat sekali. Aku musti pulang. Tapi aku nanti pergi lagi ada latihan band hari ini. Katanya si Surya mau nraktir anak-anak sehabis latihan band. Hari ulang tahunnya. Nanti kalau tidak terlalu malam pulangnya, aku telepon kamu, deh?

Bagaimana?" "Baiklah. Tapi kalau kamu diburu deadline, mustinya kamu di rumah saja kerjain itu tugas-tugas yang menumpuk. Sekali-sekali nggak hadir latihan band kan nggak dosa." kata Pandu berusaha menasehati gadisnya yang kelihatannya akhir-akhir ini sibuk sekali itu.
"Mustinya sih iya. Nggak enak sama anak-anak. Aku sudah janji..."
"Ya sudah, ya sudah. Jangan pulang malam-malam. Nanti sakit malah kamu nggak bisa bikin tugas."

"Iya, boss! Sejak kapan kamu suka ngatur-ngatur begini?" sahut Niken setengah bercanda.
"Aku bukan bermaksud..."
"Duh, Pandu, kamu koq serius sekali." potong Niken. "Aku tahu, sayang. Don't worry. I can take care of myself. Aku buru-buru nih. Sampai nanti yah.. bye.."
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memencet tombol 'OFF' di teleponnya. Sudah tiga kali ini Niken membatalkan janji untuk bertemu dengannya. Tidak tiga kali berturut-turut, sih, tetapi tiga kali secara total. Pertama sekitar tiga bulan yang lalu, saat Niken berjanji untuk pergi ke Bandung setelah mendapat libur beberapa hari untuk mid-semester. Kedua kali ketika ulang tahun Niken dan Pandu berjanji untuk menemuinya di Jakarta. Niken kebetulan ada test kimia kedokteran besoknya. Ini yang ketiga kali. Tidak separah yang dua sebelumnya, tapi janji tetap saja janji.

"Ah sudahlah", desah Pandu. "Toh liburan Paskah kemarin Niken datang ke Bandung. Pasti Niken sedang dibanjiri oleh tugas kuliahnya." Pandu menghibur dirinya sendiri.
"Ada apa, Romeo? Koq melongo begitu kayak kulit kacang yang kehilangan isinya?" Gurauan Erik, teman satu kost Pandu, membuyarkan lamunannya.

"Juliet, oh Juliet.. Di manakah dikau Juliet...??" sahut Agung yang ternyata datang bersama Erik, sambil membawa sebungkus makanan di tas plastik.
"Bawa apa kamu, Gung?" tanya Pandu menyelidik sambil mencium-cium bau tas plastik tersebut.
Dari bentuknya sudah kelihatan pasti itu makanan.
"Batagor!!!" seru Pandu yang sensor penciumannya peka sekali pada makanan yang satu itu.
"Bagi dong..." pintanya seperti anak kecil minta permen.
"Bilang dulu, kenapa kamu bermuka masam begitu sambil menatap telepon? Pasti barusan menelepon Julietmu, ya kan?" tebak Agung sambil menjauhkan tas plastiknya dari hidung Pandu.

"Kalau iya, kenapa? Ayo dong jangan kejam begitu. Perutku langsung protes nih setelah hidungku mencium bau batagor yang harum."
"Berarti iya kan? Lalu kenapa kamu bermuka masam? Biasanya kalau habis menelpon si Juliet, kamu seperti macan tutul yang jingkrak-jingkrak kegirangan sampai rontok semua tutul-tutulnya.
Kenapa kali ini seperti macan tutul sakit gigi?" tanya Agung lagi. Pandu diam saja. Dihempaskannya tubuhnya di sofa panjang di ruang tengah itu.

"Sudahlah, Gung. Kita kan memang beli untuk dimakan bersama-sama." jawab Erik yang bisa membaca situasi, sambil merampas tas plastik itu dari tangan Agung, lalu sibuk membuka isinya.
"Ayo, kamu ambil piring dan garpu", perintahnya kemudian, sambil menatap Agung.
"Piring?? Garpu??? Erik, sejak kapan kamu jadi beradab begini? Batagor itu lebih nikmat dimakan pakai tangan, seperti ini nih caranya...!" kata Agung sambil mempraktekkan gaya makan batagornya. Diambilnya batagor, langsung dimasukkan ke mulutnya tanpa digigit terlebih dahulu, dikunyah-kunyah sebentar, lalu sambil setengah melotot, ditelannya. Lalu ekspresi wajahnya berubah, sekarang terlihat sangat puas. Lidahnya menjilat minyak yang masih menempel di jemari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengelus-elus perutnya yang agak buncit.
"Nikmat...!"

Penasaran Ingin tahu Novel Mata Elang II lebih lengkap Download Disini

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009