Suling Emas Jilid 11

“Mana bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya ! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?”

“Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?”

“Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si? “

Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. “Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik ! Tidak seperti aku”, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.

“Ah, Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara ? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku”, kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.

Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu !

“Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selau menuruti kehendakmu ! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah.”

Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar. “Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke sana?”

Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon. “Justeru karena ada perang aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian ! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja ? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?” Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan !

“Kau cantik sekali, Moi-moi” , katanya perlahan, penuh kekaguman.

Lu Sian tertawa. “Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik ? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara !” Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.

Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah ? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini ? Ke mana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan ? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran ?

Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.

“Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu ? Memenuhi jalan saja.” Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.

“Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.”

“Hah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?”

Kwee Seng mengangguk. “Derap kaki banyak kuda dari belakang ! Akan tetapi belum tentu perampok - perampok yang mengejar kita, Moi-moi.”

Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik. Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.

Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.

“Minggir ! Minggir!” Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.

Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum ! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi.

Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu !

“Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?”

Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya. “Menjemukan ! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?”

Merah kedua pipi Kwee Seng. “Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?”

“Tidak salah apa-apa ? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?”

Kwee Seng tertawa geli mendengar ini. “Tukang copet ? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet ? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?”

Lu Sian tersenyum juga. “Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?”

Kwee Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.

“Mari kita lanjutkan perjalanan!” Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.

“Ah, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu ? Dia manis sekali, Kwee-koko ! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan !” Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya.

Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan. Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke utara ! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.

“Kopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah? Ke mana lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas ? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe (Jenderal Kam) berada di sana.”

“Mengapa di lain tempat tidak aman Lopek ? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?” Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian.

Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran. “Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan disini ? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak ! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goan swe seorang yang berani melindungi kami.”

“Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya”.Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.

“Kopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?” tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya. Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak,

“Ah, Kakek ! Apakah kau tuli dan bisu?”

Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel. “Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!”

Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.

“Kopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab ? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia.”

Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.

“Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini.”

Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,

“Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam”

“Ah, mengapa begitu ? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa yang harus berhenti disini?”

“Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi ke sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki ke sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi.”

“Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita ? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi.”

Akan tetapi lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.

“Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita.” Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi.

Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring di depannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu.

Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang, terdengar bisikannya, “Kwee-koko”

Berdebar keras jantung Kwee Seng. “Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam tidur ! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya?”

Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang pernah di bacanya :
halus licin laksana sutera hitam
mulus melebihi tinta gemuk
panjang berikal mayang mengikat kalbu
menimbulkan sayang
harum semerbak laksana bunga
melambai meraih cinta asmara
sinom berikal di tengkuk dan
dahi pembangkit gairah dendam berahi !
Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung.

Kecil mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis bergerak mesra mengandung seribu rahasia

Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa. Bukan gadis pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya.

Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara !

Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya. Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. “Eh, kwee-koko, kau masih duduk di situ sejak tadi ? Tidak mengaso?” Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah. “Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini”, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.

“Hih ! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca ? Apa sih yang kau lihat?” tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.

“hoh, kau bilang apa tadi, Moi-moi” Kwee seng tergagap.

Kini Lu Sian tertawa, “Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini”

“Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun di sana.”

“Bagus, mari kita ke sana, Koko”. Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air.

“Hah, dingin dan segar, Koko!” teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai. “Koko, aku hendak mandi ! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!”

Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. “Siapa ingin melihat?” serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.

Bersambung Jilid ke-12

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009