Suling Emas Jilid 10

Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.

"Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu."

"Ah, Kwee-kongcukau menumpuk budi kebaikan padaku." Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya, mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. "Seorang puteri pangeran sampai begini," pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan jarang keduanya ini.

Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata, suaranya mesra dan manja. "Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku." Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu (Tuan Muda) berubah menjadi Koko (Kakanda) ini.

"Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam". Jawabnya, masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.

"Di sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan membeli untukmu."

"Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu."

Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur !

Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki yang manapun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya. Akan tetapi kwee Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya !

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan.

"Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik."

Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata, suaranya mesra dan penuh cinta kasih, "Kwee-koko,jangan kau tinggalkan aku lagi".

Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum. "Jangan kuatir, Moi-moi, aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!"

Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali.

Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa ! Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering
betul.

Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa saja.

"Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya".

Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata. Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.

"Mana bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kaubilang ? Keluarkanlah, biar kumelihatnya".

Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata, "Jadilah. Harap kaubuatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya".

Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang limapuluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari telaga.

"Moi-moi, kaulihatlah suling ini!"

Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya. Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh melang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.

"Moi-moi!" serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang dun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Apa yang dilihatnya ? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya di mana tampak menancap sebuah gunting !

Kwee Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan seperti itu.

"Moi-moi siapa melakukan ini?" Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.

Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah. "Kwee-koko, kau datang terlambat tapi lebih baik beginitak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi lebih baik aku akhiri hidupku"

?Apa katamu ? Kau membunuh diri ? Tapi....tapi mengapa, Moi-moi?"

"Koko pada saat kau pergi datang hwesio iblis itu, ah, dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku ... aku..." Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. "Setelah bertemu dengan engkau setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang, kebiadaban hwesio itu membuat aku tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini aku aku ah koko, aku cinta padamu kau carikan saudaraku Gin In"

"Moi-moi!"

Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng. Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil.

"Ang-siauw-hwa, Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota ? Aku menanti -nantimu, banyak tamu menanyakan kau" Lalu terdengar jerit wanita.

Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu.

"Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengangkibatkan sulingku hancur!" Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.

"Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi-Lo-cia, matamu berkilat marah ! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?" Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu !

Di lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.

"Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi ? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!"

Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.

"Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu" ?tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam. Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.

"Tidak, aku hanya kasihan kepadanya." Jawab Kwee Seng , suaranya jelas menyatakan isi hatinya.

Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi. "Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?"

Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya.

"Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanyahanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi, ah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!"

Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata. "Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan."

"Apa ? Hampir tengah malam begini?"

Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapakannya di depan rumah penginapan.

"Mengapa tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan perjalanan malam ? Setelah keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan."

"Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?" Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. "Memikirkan apa saja, sih?"

Liu Lu Sian tersenyum manis. "Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!"

Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.

Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. "Alangkah anehnya gadis ini", pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.

"He, paman tukang perahu ! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana ! Berapa biayanya kubayar!"

Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.

"Baiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana". Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan.

Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat ke atas dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali.

Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.

"Ah, Paman, kau tadi bilang apa?" ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya. "Orang-orang mengungsi dari sana ? Ada terjadi apakah diseberang sana?"

Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut. "Apakah nona belum tahu ? Daerah San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan memberontak"

"Ah! Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah ditangkap juga ? Dan dimana dia sekarang?"

Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan. Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh !

Bersambung Jilid ke-11

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009