Suling Emas Jilid 9

Bukan, sama sekali bukan ! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan.

Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang ? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.

Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat.

Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan. Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya.

Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali memasuki lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.

"Kyaaaa!"

Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.

Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya.

Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya Keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas tanah !

Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri, "Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!"

Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya. "Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!" jawabnya.

Kembali Si Raksasa gundul tertawa. "Aku pernah mendengar sayup sampai tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kaukah orangnya?"

Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku.

"Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya ? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu ?Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!" Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.

Kwee Seng juga bangkit berdiri. "Aku selau melayani, kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!"

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat.

Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak dan kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee Seng mengerahkan gin-kang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar.

Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya. Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.

"Bah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau inilah ! Heh-heh-heh ! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusiadewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?"

"Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita anjutkan". Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.

"Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!" Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.

"Brakkkk!! Uh-uh"

Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas ! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja !

"Serrr.. serrrserrr!" Belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia. Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang bersenjata lengkap.

"Inilah hwesio jahat itu ! Serbu Keroyok!"

Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.

Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang mereka sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.

"Eeh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!"

"Sekarang pun boleh!" Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang. Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.

"Kongcu !"

Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.

Dia sendiri di situ ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang -kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.

"Kongcu, kau kenapa? Kau terluka?"

Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya. "Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?"

"Ooh" tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.

Ang-siaw-hwa menarik lengannya. "Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu." Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.

"Kenapa kenapa kau begini baik kepadaku?"

Kwee Seng masih mencoba menolak. Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya.

"Kenapa ? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin belajar menyuling darimu"

"Menyuling ?"

Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu.

Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya.

Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.

"Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan."

Terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan. Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.

"Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur."

Kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.

"Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi."

Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya. "Mengapa begitu, Kongcu ? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku ? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang pelacur? "Wanita itu masih memeluknya sambil menangis !

Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.

"Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali."

Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi pipinya,ia teresenyum gembira. "Marilah makan, Kongcu.Katanya merdu."

Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan duduk diatas pangkuannya !

"Ah, Nona...ini...ini.. bagaimana?" Kwee Seng tergagap.

"Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk memalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya.

"Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku ? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga."

"Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya"

Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.

"Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai....sampai...." tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.

"Sampai menjadi pelacur?"

Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan.

"Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang"

Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. "Ahhh ! Mengapa sampai begini?"

Nona itu dengan suara pilu bercerita. "Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.

Akhirnya, pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang mereka berumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In dijual kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.

Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkraman bibi Cang. Akan tetapi baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan akuaku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang- orang terhormat seperti kau" Kembali Ang-siauw-hwa menangis.

Bersambung Jilid ke-10

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009