Suling Emas Jilid 23

Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang kuat ! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan yang mencekiknya. Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi ! Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran manapun juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.

Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas daripada belenggu ujung cambuk, sejenak mengurut-ngurut kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian ia menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah Si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.

Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian, akan tetapi karena ia terburu-buru saking gugup dan kuatirnya akan cekikan yang ketat, ia menjadi bingung sendiri, mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau lengan Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari cekikan orang muda itu. Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya !

Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali ! kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor harimau ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.

"Ayaaaa....!" Lu sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan. Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya. Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh !

"Bocah setan ! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya ? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu ! Tangan kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.

"Iblis tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik, maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong pemuda pujaan hatinya.

“Heh-heh-heh, kau bersabar dan tunggulah, manis ! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya ! Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.

Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, berusaha sekuatna untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka, karena tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir meledak. Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian, akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, selalu tertangkis cambuk, habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal lagi hatinya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat daripada maut !

Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, ia berteriak sekuatnya. "Jangan...!" akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Ban-pi Lo-cia.

"Brett...! Breettt ! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"

Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.

"Kau masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.

"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu, kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.

Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah kecantikan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.

Orang tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya. Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai, begitu melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian. Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin, walaupun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa !

Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ng, biarpun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu. Adapun Kam Si Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh. Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya. Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.

Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biarpun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh !

"Hemm, tua bangka tak tahu malu ! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?" Tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.

"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong ? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk ? Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh ? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepala Sakti), akan tetapi andaikata kakek itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.

Kong Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"

Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek ? ia lalu tertawa menyeringai.

"Kakek lumpuh, raja jembel ! Siapa butuh dia ? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah Si Bidadari!" Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.

Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar ditolong nyawa mereka.

Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia ! Ia tertawa bekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata.

"Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.

Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak, "Budak rendah ! Biarpun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa ? Mengapa kau mentertawakan aku ? Apanya yang tidak cocok?"

"kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi ! Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan ? Hi-hi-hik!"

Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.

"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau ! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"

Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh ? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa sukarnya menangkap Si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek ?

"Raja Muda bangkrut ! Kaulihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Bentakan ini disusul suara "tar-tar-tar!" keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.

"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu ?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar cambuknya dan menyerang.

Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah sekali dan ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat. Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara, kemudian di dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.

Sementara itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan. Agaknya Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si Kepalan Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin. Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan kengan pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa sehingga tidak aneh kalau orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.

Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini.

Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri. Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.

"Dessss...!" Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri melalui kepalan tangannya !

"Celaka...!" Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan. Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.

Marahlah Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong melawan kakek yang berjulukan Kepalan Sakti ini, ia melolos Lui-kong-pian dan terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya menyambar-nyambar dan meledak di atas kepala Si Kakek Buntung. Diam-diam Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi menghadapi cambuk yang demikian panas dan dahsyatnya, kalau dilawan dengan tangan kosong, tentu ia akan terdesak. Maka ia lalu melompat ke belakang dan mengangkat tongkat bambumya untuk menangkis, kemudian secepat kilat tongkat bambu yang kiri menusuk perut lawan. Kiranya dua batang bambu yang dipergunakan untuk pengganti kaki itu kini dapat dimainkan seperti senjata. Kalau yang kanan akan menyerang, yang kiri menjadi kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan adakalanya tubuh kakek lumpuh ini melayang ke atas dan pada saat seperti itu, dua batang bambunya dapat menyerang bertubi-tubi. Hebat memang bekas raja muda ini ! Tongkat-tongkat bambunya itu tidak saja dapat menyerang dengan pukulan dan hantaman atau sodokan seperti dua batang toya panjang, malah ujungnya dapat ia pergunakan untuk menotok jalan darah. Karena bambu itu berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan yang sakti itu, mengeluarkan bunyi angin mengaung-ngaung seperti suara dua ekor harimau bertanding.

Ramai bukan main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus gulungan sinar senjata dan terdengar pada saat itu adalah auman-auman yang keluar dari sepasang bambu diseling suara meledak-ledak dari ujung cambuk. Keadaan yang seimbang ini, ketangguhan lawan membuat hati yang sudah menjadi gelap, tidak mendusin lagi bahwa dua orang muda itu sudah lenyap dari situ.

Setelah lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian berseru, Siluman betina, kaulihat baik-baik bagaimana aku merobohkan monyet Khitan!" Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan kirinya menerjang dengan gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras. Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi tubuh. Dengan tongkat lawan diputar sperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan cambuknya.

Tiba-tiba sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri sudah turun dan kini sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis ketika pukulan ini dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya. Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja muda itu dijuluki Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis secara langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser kakinya sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima dari depan secara langsung. Betapapun juga, begitu lengannya bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang, maka cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.

"Huah-hah-hah, bidadari cantik manis. Kaulihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh Sin-jiu ? Sekarang kaulihat betapa aku membalasnya..." Tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar mencari-cari di dalam gelap dan tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"

"Huh-huh, siapa butuh siluman itu ? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki. "Hayo kita lanjutkan pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.

"Nanti dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia anggap sebagai korban yang sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa pula ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya ? Hemm, apakah kaukira Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"

Kong Lo Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul ! Celaka, kita kejar dia!"

Dua orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi aba-aba, meloncat ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biarpun keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit cukup untuk menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek ini segera melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.

"Huah-hah-hah, manisku ! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan segera mengejar ke arah dua bayangan tadi.

Khitan!" Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan kirinya menerjang dengan gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras. Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi tubuh. Dengan tongkat lawan diputar seperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan cambuknya.

Tiba-tiba sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri sudah turun dan kini sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis ketika pukulan ini dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya. Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja muda itu dijuluki Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis secara langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser kakinya sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima dari depan secara langsung. Betapapun juga, begitu lengannya bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang, maka cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.

"Huah-hah-hah, bidadari cantik manis. Kaulihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh Sin-jiu ? Sekarang kaulihat betapa aku membalasnya..." Tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar mencari-cari di dalam gelap dan tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"

"Huh-huh, siapa butuh siluman itu ? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki. "Hayo kita lanjutkan pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.

"Nanti dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia anggap sebagai korban yang sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa pula ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya ? Hemm, apakah kaukira Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"

Kong Lo Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul ! Celaka, kita kejar dia!"

Dua orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi aba-aba, meloncat ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biarpun keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit cukup untuk menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek ini segera melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.

"Huah-hah-hah, manisku ! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan segera mengejar ke arah dua bayangan tadi.

Bukan main kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari pergi dari tempat pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil berpegang tangan. Agaknya Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia menurut saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.

"Celaka." Bisik Lu Sian, "Si Monyet Gundul mengejar kita..."

"Hemm, kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba kita berdua menyerang dari kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si Ek memberi usul. Siasat seperti ini adalah siasat perang, akan tetapi agaknya takkan berhasil banyak kalau dipergunakan sebagai siasat pertandingan perorangan. Dalam perang mungkin siasat ini dapat dipergunakan melawan musuh yang lebih banyak.

"Percuma, kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kita, akal itu takkan berhasil. Lebih baik bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah belakang, "Kam-goansewe, jangan takut aku menolongmu!"

Gemetar suara Lu Sian mendengar ini. "Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi Lo-cia menang dan mengejar, kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar kita."

"Hemm, mengapa takut ? Kalau memang tidak ada jalan keluar, kita lawan mati-matian. Aku tidak takut mati!"

"Aku... aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang setelah bertemu denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek terkejut dan tercengang. Selanjutnya ia menurut saja ketika Lu Sian menariknya ke arah kiri di mana terdapat sebuah danau kecil. Kini bulan mulai menerangi jagat dan tampaklah permukaan danau kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang tumbuh di pinggir danau bergerak-gerak seperti menari-nari ketika tertiup angin malam.

"Lekas terjun, ini jalan satu-satunya!" Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan mereka terjun ke dalam air danau yang gelap dan dingin. Kam Si Ek segera menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah, akan tetapi gadis itu menahannya.

"Tidak usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja."

"Di sini?"

"Ya, menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat menyembunyikan kita." Lu Sian memilih batang alang-alang yang besar dan panjang, memotongnya dan memasukkan ujungnya ke mulut. "Kalau mereka lewat, kita menyelam, batang alang-alang ini membantu pernapasan kita."

Diam-diam Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia mengerti apa yang dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian pinggir itu tidak dalam, air hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main !

Bersambung Jilid ke-24

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009