Suling Emas Jilid 54

Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya! Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat, terdengar suara "bretttt!" dan ujung bajunya telah robek dan hancur kena sambaran pukulan sakti Si Kakek Cebol.

"He-he-ha-ha!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua orang lawannya.

Mendongkolah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan enak-enak saja. Ia melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding! Akan tetapi Si Kakek Cebol masih enak-enak tertawa ha-ha-he-he, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu akan pertempuran itu.

"Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua suka pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya ini."

"Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut? Heh-heh-heh!"

Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak takut!

"Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling emas yang kautanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak menyimpannya..."

"Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan hidup!" Berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat. Kembali tubuh Si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat tongkat, mendekati Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan kini ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biarpun kakek lumpuh ini sudah bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon besar tertiup angin.

Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan, burung hantu itu mengeluarkan suara keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok majikannya!

Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw dan dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus! Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula, ia memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa.

Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara tang-ting-tang-ting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali. Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air dingin. Yang hebat adalah kakek cebol itu. matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar, "Dia datang....! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"

Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin jerih dan tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.

Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya, lalu melompat keluar dari tempat sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya sekali..." katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke kanan kiri, pandang matanya mencari-cari.

Suara crang-cring-crang-cring itu masih terdengar terus, makin lama makin jelas, Eng Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat. "Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di tengah hutan! Siapa gerangan..."

"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."

Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan. Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang membaca doa.
"Bahagialah kita sesungguhnya,
tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biarpun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!"
Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu. Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
"Penyelesaian kebencian besar
yang masih meninggalkan sisa dendam
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana
memegang teguh perjanjian
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu
namun orang baik selalu dibantu!"
Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, adapun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir.

Bersambung Jilid ke-55

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009