Suling Emas Jilid 25

"Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis di kamarnya, dan sama sekali tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio di luar benteng, bahkan bermalam di sana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."

Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh di dalam hatinya, tidak mau menceritakan apa yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng terjatuh ke dalam jurang dan binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak enak diantara mereka, apalagi di situ tersangkut pula diri Lai Kui Lan.

Cinta memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam Si Ek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan seorang patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang licik dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak mau kalah oleh siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara maupun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan ia hantam !

Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Sebaliknya, Lu Sian di samping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan, dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu. Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu !

Untung bagi mereka, di dalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia maupun Kong Lo Sengjin dan setelah tiba di wilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung.

Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang diantara pimpinan pemberontakan yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama Kerajaan Liang.

Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati. Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan pikiran jenderal muda itu secara halus. Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.

"Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti itu?" Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati ! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada bahaya. Kemudian, setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.

"Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan kacau-balau seperti sekarang ini." Berkata demikian, ia melirik ke arah Liu Lu Sian. Gadis ini tentu saja maklum bahwa dia merupakan "orang luar" apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk minum arak wangi ! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi, tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.

"Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon isteri saya, yaitu... eh..., kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao." Setelah berkata demikian, dengan muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu.

Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada kesempatan sebaik ini ! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao ! Melepas budi kepada Jenderal Kam ! Maka ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi terlaksananya cita-citanya ?

"Ha-ha-ha ! Bagus..., bagus sekali ! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang hati saya suka menjadi perantara!"

Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih. Setelah itu, Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh.

"Ji-wi (kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkar diri sendiri menjadi raja, melainkan hanya bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si ? Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil yang manapun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?"

Kam Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata, "Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."

"Betul sekali ucapan Kam-goanswe ! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe di bidang muliter, namun pendapat dan tujuan kita cocok ! Kita boleh menanti dan memilih secara hati-hati, sementara itu, sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang manapun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?"

"Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!"

"Bagus ! Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para raja kecil yang secara lancang mengangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman di segala jurusan."

Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.

Adapun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu yaitu menjadi isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini menjadi suaminya.

Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga, tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapapun juga, ia kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak mereka ? Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah.

Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan puterinya di Nan-cao.

Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di seluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini, banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.

Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda.

Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923).

Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara "orang dalam", juga ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.

Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja terakhir Dinasti Tang ! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun di dalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf.

Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun. Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu sian beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan ini.

Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik !

Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan ! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang ! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.

Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.

Liu Lu Sian

Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah. Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.

"Si Ek !" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"

"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."

"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya, "Kaukurung dirimu dengan tugas, dan kaukurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku ? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.

"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri ? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya ? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban ? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song ? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."

Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak ! "Cukup ! Bosan aku mendengar kuliahmu ! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku !" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.

Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!

Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima ! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.

"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya ? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka.

Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya.
Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak. Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka. Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain ? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari.

Namun, tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka. Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang ! Titik kedua ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.

Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan Nikouw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.

Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.

Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi.

Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak, "Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"

Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar, "Harap jangan layani orang itu...!"

Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu ? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya, "Mengapa ? Siapa dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.

Bersambung Jilid ke-26

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009