Suling Emas Jilid 4

Kwee Seng memang tampan pula tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biarpun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang "jantan!"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata, suaranya perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang.. akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.

"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan diri ? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?

Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari panggung dan cepat-cepat lari keluar dari halaman gedung.

Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda ganteng itu, "Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging panggang dengan sumpitnya.

"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.

"Ha-ha-ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah maka Shan-si terkenal daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh arak.

Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak biasa minum arak banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.

"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan, akan tetapi kalau disuruh memilih kau, Kwee Seng!"

Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah panggung. Juga para tamu mrndengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini mereka memandang ke arah mereka, terutama sekali Kwee Seng menjadi pusat perhatian.

Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak ? Jelas bahwa Ketua Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.

Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan -bisikan tentang kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya.

Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!

Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah kalau ia boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.

"Lo-enghiong, jangan main-main!"

"Ha-ha, siapa main-main ? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak anakku itu akan makin besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri! Ha-ha-ha!"

"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, akupun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing.

Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara
pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.

Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti,kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"

Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana? Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."

"Aku. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."

"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"

Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!

"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?"

Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat daripadanya.

"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dan seorang yang mabok!" Dengan kata-kata ketus ini, Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi.

Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya, mulut yang biarpun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita.

Bibir merah basah menantang Bentuk indah gendewa terpentang Hangat lembut mulut juita Sarang madu sari puspita Senyum dikulum bibir gemetar Tersingkap mutiara indah berjajar Segar sedap lekuk di pipi Mengawal suara merdu sang dewi!

"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.

Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku ...aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.

"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!"

Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak diatas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.

Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah. Lu Sian merasakan ejekan ini dan dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.

"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.

"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.

"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya. Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.

"Ji-sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras dan biarpun matanya melotot marah, Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suhengnya dan ia mundurkan diri dengan kemarahan di tahan-tahan.

Don't just say I am capable doing what He asks, but just do it without saying anything. Actions speak louder than words !

Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil menggerakan pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar daripada kilat yang berpencaran keluar dari sinar pedang itu.

"Lu Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Begitu gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian sudah mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-benar amat lihai. Pedangnya yang menyambar-nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan gerakan-gerakannya ini masih terkampau lambat bagi Kwee Seng.

Oleh karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan tenaga dan berlaku hati-hati, cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong Kiam-hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.

Melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu-deru seperti angin badai mengamuk, diam-diam Kwee Seng kaget dan kagum. Tak percuma Ketua Beng-kauw mendapat julukan Pat-jiu Sin-ong dan tidak percuma pula gadis itu menjadi puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat dan hebat berbahaya sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan kecepatan belaka.

Pemuda sakti ini maklum pula bahwa Pt-jiu Sin-ong seorang yang amat licik dan aneh. Tentu sekarang Ketua Beng-kauw itu menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang simpanan agar terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk mengalahkan Lu Sian.

Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik dari Pat-jiu Sin-ong, yang membayangkan sifat loba seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai seluruh ilmu yang paling sakti di dunia ini.

Melalui puterinya, Ketua Beng-kauw ini hendak memancing-mancing ilmu silatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu Pat-jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi daripada kepandaian gadis itu untuk meleset kesana kemari, menyelinap di antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai mengamuk itu. Akan tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.

"Lu Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hot!" Ilmu pedang Pat-mo-kiam (Pedang Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-ong untuk mengimbangi Ilmu Pedang Pat-sian-kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi dahulu. Hebatnya bukan kepalang. Lu Sian kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan pedangnya berubah lagi.

Kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga sin-kang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau bacokan mengandung tenaga mujijat sehingga anginnya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat.

Kembali Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifatnya Pat-sian-kiam yang ia kenal, ilmu pedang ini rapi sekali, seakan-akan dimainkan oleh delapan orang, namun Pat-mo-kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Biarpun Pat-mo-kiam diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori atau peraturan gerakan belaka yang terpenting adalah orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi daripada tingkat Lu Sian, maka ia merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang dimainkan gadis ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.

Ia berseru keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut keluar sebuah kipas yang di sembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam, kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang putih terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya terkena totokan gagang kipas.

Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya yang sudah terlepas tadi.

Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang lagi ia terus menyerang dengan hebat!

"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat. Terpaksa ia mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hain San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang lawan dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi!

Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan! Lu Sian dapat bergerak lagi akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.

"Lu Sian, cukup ! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu! Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke atas panggung. Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa menoleh lagi.

Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah perjodohan ini diteruskan atau tidak. Betapapun juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"

Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan para tamu mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.

Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah menangkan pertandingan, ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.

Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa.

Bersambung Jilid Ke-5

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009