Suling Emas Jilid 44

Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta, memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama. Di antara para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak kecil hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu silat dari Kian Hi Hosiang.

Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata tajam, tidak turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu. Akhirnya selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri. Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani mati memasuki kuil kami tanpa ijin?"

Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan begitu kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru.

"Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!"

Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal) ia dapat menduga bahwa dia itu tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui. Para pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut.

Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, di antara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori oleh permusuhan, mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan, menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab.

"Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita, sekali terinjak kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka, menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat. Kiranya tidak ada apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi, betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa biarpun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat peramah dan baik hati."

Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan Ayahnya. Pandai dan keji, baik tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik, melihat muka Ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh pergi." Ia menghela napas panjang.

"Suhu! Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini sungguh mencurigakan!"

Kian Hi Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun akan pelanggarannya."

"Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawabanlah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"

Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya di luar kehendaknya. "Heh, setan tua busuk, kalau pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"

"Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya melotot.

Lu Sian juga pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun menyebut engkau setan tua busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita sudah punah, satu-satu?"

Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh, siapa nyana hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda, di depan banyak tamu! Kalau ia tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!

"Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang membantumu?"

Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk ke pekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."

"Nanti dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.

"Eh, hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata.

"Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini benar-benar tak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"

"Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi." Hwesio tua itu mengomel dan diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Di depan begini banyak orang, wanita berandalan ini tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang banyak.

"Suhu," Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya, "dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa tahu dia mengambil sesuatu?"

Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata nyaring, "Losuhu, apakah orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!" Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai dekat.

"Omitohud...!" Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat. "Pinceng takkan menggeledah..."

"Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu, geledahlah aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.

"Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau berdiam lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu. Mendadak berkelebat bayangan putih dan seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah sudah menghadang di depan Lu Sian.

"Cheng Han Suheng benar. Kau harus digeledah!" Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah. "Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini menghinaku?"

Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab, "Mengapa tidak berani menggeledahmu?" kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba tubuh Lu Sian.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang, mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu dua jalan darah maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat kilat sehingga jalan satu-satunya bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat.

Lu Sian tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih menggeledah? Tak tahu malu!" Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai itu, apalagi mereka. Adapun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah memperkenankannya pergi.

Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata, suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima hukuman."

"...apa...? Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan tersayang ini.

“Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki pekarangan belakang..."

"Keparat!" Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke depan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar. Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai.

Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil dan pada saat itu pukulan Cheng Han Hwesio tiba, biarpun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak dan muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan sambil meloncat ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke belakang. Pada saat itu, tiga orang murid Siauwlim-pai tingkatan atas bersama seorang wanita, yaitu Tan Liu Nio sudah mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lompat menghindarkan diri dari sambaran sinar merah senjata rahasia Lu Sian.

Ketika mereka mengejar terus, mereka telah tertinggal jauh. Tentu saja sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah mempergunakan gin-kangnya yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega)! Untung bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula, dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah mengejar. Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu sudah maklum dan asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk menerima hukuman, cukuplah."

Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan suram.

Lu Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja. Segera ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu memberinya pula minum sedikit. Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Lu-cici, aku telah membikin kau banyak susah..."

Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya. "Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada aku di sini, tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"

Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak. Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri kemarahan Suhu."

Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali.... kecuali agaknya... cinta kasih Kwee Seng yang telah mati!

"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"

"Lu-cici... ah, Lu-cici...!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.

Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia mengarahkan sin-kangnya untuk membantu kekasihnya memanaskan jalan darah memperkuat hawa sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampi senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore dan keadaan menjadi terang seperti siang.

Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara bentakan. "Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada kami!"

Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu. Dua orang berusia empat puluh lebih, yang seorang paling banyak empat puluh, mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung kebawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga tulang-tulang pipinya menonjol keluar, tampak menyeramkan.

"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid Siauw-lim-pai itu mencaci.

Panas hati Lu Sian dan wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingasan dengan mesra dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak lagi.

"Kami mengingat Ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau membangkang!"

Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.

"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian berkata sambil tersenyum manis.

"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak Si Muka Halus yang bernama Long Kiat.

"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau suah terdesak lalu melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"

"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata Si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"

"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia disiksa."

Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sia ia membentak, "bocah setan banyak tingkah! Kami datang berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami!"

"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap Kwan Bi yang sudah terluka oleh Si Keledai Gundul tadi!"

"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong marah.

"Tidak bisa tidak mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi, habis perkara!"

"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.

"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah menjaadi mayat!"

"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?"

"Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasihatkan kalian, kalau memang hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku, karena kalau maju seorang demi seorang bererti mengantar nyawa dengan sia-sia!"

"Perempuan sombong!" Bentak Liong Kiat marah. "twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina ini!"

"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan kaki tanganku yang tidak bermata."

"Sombong!" Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi "werrrr-werrr!"

Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan tangan amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat, kedua kakinya diayun ke belakang sehingga tubuhnya dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan, terangkat naik ke atas. Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa
ini, tiba-tiba Lu Sian sudah mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!

"Sute, awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil melompat dekat diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio. Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat mempelihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong balok kayu akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang, berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.

Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Gin-kangnya sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu gin-kang yang terhebat di jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa cepatnya berkat gin-kang Coan-in-hui.

"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"

Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, bukan lawan mereka kalau maju seorang demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.

"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati. "Hi-hik, mengapa tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."

"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil mencabut senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya. Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di tengah-tengah!

Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang, tubuhnya miring, kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiapsiagaan yang lengkap dan gagah.

"Keluarkan senjatamu!" Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat ruyungnya ke atas.

"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.

"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempatsenjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak dan mendadak "cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.

Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang, setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.

Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.

"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.

Bersambung Jilid ke-45

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009