Suling Emas Jilid 43

Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus, memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."

Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih.

"Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona." Katanya hormat. Lu Sian mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke kamarku."

"Baik, Li-hiap, baik..." Pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang. Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul keluar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.

"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."

Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar, mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling pandang dan sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali, ia menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya. Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir. "Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."

Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."

Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda itu. Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang sebutan."

Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang. "Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."

"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"

Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!"

Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"

Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!

Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan, ia berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"

"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara murid-murid Siauw-lim-pai."

"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari Siauw-lim!"

"Lu-cici jangan metertawakan Siauw-te!" Pemuda itupun berdiri dan tertawa. "Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."

Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.

"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai dan semenjak kecil, aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"

"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andaikata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."

Lu Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan mellihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa.

Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.

"Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."

"Kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan, Adik yang gagah?" Yap Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang ilmu samadhi melatih napas."

"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cicimu ini masuk sebentar saja ke sana?"

Pemuda itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan sama sekali tidak boleh dibuat main-main di sana. Para Suhu amat keras dan lihai."

Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan sebelah dalam ruangan Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi. "Berapa banyakkah kita-kitab di dalam kamar kitab itu?" Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang samadhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini. Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di ujung kiri, hatinya berdebar.

"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku." Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.

Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya. "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."

"Jadi kau mau menolongku?" Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.

"Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku." Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.

"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kauceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."

"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"

Girang sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk..." Lu Sian mengerling tajam. "... untuk bersenang-senang bersama bukan?" Lu Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudur hatimu ada maksud itu?"

Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh - sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.

Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?" Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.

Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.

"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"

Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.

"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.

Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."

"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat pinni miliki."

"Melawan usia tua dan berhasil merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.

"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"

Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan semalam itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai nafsu, di dekat telaga dalam hutan.

Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja bertemu seorang wanita seperti Lu Sian, dia benar-benar jatuh. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinaan yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.

Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapapun juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk dipermainkan atau dipatahkan cintanya kemudian! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada cinta nafsu, hanya untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!

Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu, terdiri dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir Ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahunnya! Kian Hi Hosiang, Ketua Siauw Lim Pai, sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat, berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.

Kini Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun sehingga kerjanya hanya bersamadhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu Cheng Han Hwesio murid pertama dan Cheng Hie Hwesio murid kedua. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Budha) ia sudah menjauhakan diri daripada urusan duniawi. Adapun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biarpun dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai.

Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewangan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai biarpun murid murtad itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya sesuai dengan peraturan persilatan Siauw-lim-pai!

Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas. Adapun semua hwesio setelah terdengar bunyi kelenengan keras nyaring, berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi serem. Di barisan belakang para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu maupun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan disekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.

Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biarpun usianya masih amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun. Akan tetapi pada saat itu, kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat "tanda aman" dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke pekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang Kuil Siauw-lim-si.

Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andaikata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan yaitu kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab!

Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri. Setelah membuka dua tiga buah kitab wajahnya berseri. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki.

Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya dengan hati girang ia berlompatan menuju kebelakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya! Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan! Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun lebih, dengan gerakan ringan berdiri di atas sebelah laki-laki pertama lalu berkata perlahan.

"Belum kelihatan?"

"Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"

"Dia menjaga di tembok timur."

"Dan Yap-sute?"

"Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati akan berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."

Dua orang laki-laki itu nampak muram wajahnya dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya. Akan tetapi ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di anatara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.

Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapapun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan! Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang keluar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.

Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang whesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Disebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahu lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri dibelakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.

Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos keluar melalui pintu depan tanpa diketahui, dan ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan dan dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya kemudian muncul keluar dari balik arca dan berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan, menuju keluar.

Tentu saja gerakannya ini tidak terlepas daripada pendengaran para hwesio yang sedang berdoa. Namun, tepat seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka merasa terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal sebuah di antara larangan yang amat keras dari Kuil Siauw-lim-si di manapun juga, adalah hadirnya seorang wanita ke pedalaman kuil! Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa diantara segala godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.

Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir di ruangan depan juga menjadi heboh.

Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu keluar, akan tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu, biarpun masih banyak di antara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki kepandaian tinggi, karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang ketua Siauw-lim.

Bersambung Jilid ke-44

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009