Suling Emas Jilid 64

Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak.

"Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!" Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.

Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"

Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kauturunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"

Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."

Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"

Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?" Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.

Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.

Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."

Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.

"Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"

"Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"

Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?"

"Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...."

"Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup."

Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"

"Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya.

"Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"

"Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."

"Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!"

"Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."

Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"

"Apa, Kek? Apa maksudmu?"

"Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?"

Bu Song menggeleng kepala.

"Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu."

Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."

"Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini. Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!"

Bersambung Jilid ke-65

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009