Suling Emas Jilid 65

Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung.

"Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?"

"Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"

"Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.

"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"

"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali.

Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!"

Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.

"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!"

Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.

"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?

"Kau menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul.

"Dessss!" Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu.

Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya.

Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."

Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."

"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."

"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"

Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."

"Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"

Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"

Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.

Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.

"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"

"Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"

"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan ecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.

"Cringg!" Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.

Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.

"Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kaubujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!"

"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"

"Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?"

"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"

"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"

Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya.

Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil! Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.

Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh.

Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh.

Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak. Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.

"Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!"

Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"

Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Locianpwe...?" Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!

"Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya. Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan! Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.

"Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!"

Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja. Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.

"Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak.

"Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"

"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi.

Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu menggantung diri!"

Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.

"Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru, "Di mana kitab itu? Hayo katakan, di mana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.

"Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..."

"Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kausembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"

"Locianpwe..." Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.

"Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

"Biarkan aku mengubur jenazahnya..." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga..." tambahnya.

"Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?"

"Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."

Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi dari sini!"

Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu.

"Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?"

"Mengerti, Locianpwe."

Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.

Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kota raja sebelah barat.

Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu. "Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"

"Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana."

Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya. Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman."

Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu. Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan..."

Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju. "In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante."

Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk."

Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."

"Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."

"Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!"

Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.

Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian. Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan!

Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut.

Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara" bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!

Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!

"Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"

"Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."

"Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!"

"Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?"

Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..."

Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun."

Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau..."

Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.

"Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?"

Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song."

Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.

"Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!" Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut! "Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan.

Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.

Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!

"Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.

Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah. "Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan."

"Wah, kionghi..., kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan. Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.

Bersambung Jilid ke-66

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009