Suling Emas Jilid 7

"hihhh hihhh jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda ? Sungguh sayang." Gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan yang tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukan kata-kata sayang itu kepadanya.

"Siluman sombong ! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh tergila-gila kepada kecantikanmu, dan andaikata di dalam pertandingan itu dia kalah, apakah salahnya ? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran ? Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?"

Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang seorang diantara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.

"Oh, Si Muka Hitam itukah puteramu ? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi aku tidak membunuhnya!"

"Kau setan betina ! Siluman cantik ! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau masih pura-pura, dasar perempuan rendahan"

"Cukup, ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!" Pemuda tampan yang membawa pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa mata pemuda itu agak kuning.

"Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, Dan bukan nona pula yang membunuhnya, akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan kami minta pertanggungan jawabamu!"

Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak minum arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. "Hemm, pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini ?"

Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.

"Orang She-lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian ! Kalau aku tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!"

Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan, akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa sama sekali ucapan itu bukan kesombongan kosong karena ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya.

Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san, bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian puteranya, telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.

"Bagus ! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!" seru Si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri. Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali, tanpa kelihatan gadis itu menggerakkan kakinya, cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian.

"Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!"

Hebat sekali serangan lu Sian ini. Gadis itu dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat, hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang diatas meja dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging ! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah !

Sebetulnya, melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata masing-masing mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan, Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.

Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata semua runtuh ke atas lantai karena tanpa mereka ketahui mengapa, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah disiku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.

"Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata ? Lekas pungut senjata dan pergi barulah perbuatan orang yang berakal sehat!"

Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka !

Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya lalu ia menjura ke arah Kwee Seng. "Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuat mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?"

Kwee seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri
suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati
nama harta kepandaian tiada artinya
yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu. Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring.

"Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya ? Dia bernama Kwee Seng, para locianpwe mengenalnya sebagai kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku ! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih Bukankah itu lucu sekali?"

Enam orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Kwee Sng menyatakan kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.

Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.

Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapapun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya ! Ia merasa makin tak senang ,muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawannya ! kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta ! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tariknya menguasai hatinya.

"Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling, dan pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?"

"Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat)."

Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. "Apa ? Kau betul-betul bertemu dengan ok-hengcia (pendeta jahat) itu ? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kaukau bertemu dengannya ? Bertanding ? Dan sulingmu hancur olehnya ? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?"

Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. "Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw". Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.

Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw, Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.
Air berkeriput biru sehalus beledu
tilam pembaringan berkasur bulu
bunga teratai aneka warna penghias indah
dicumbu rayu ikan-ikan emas berwarna cerah
berperahu di telaga barat mandi sinar bulan
minum arak sesudah itu mati pun tak penasaran!
Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan berjalan-jalan disekitar telaga, yang tergolong cukup merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi menabuh yangkim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap malam diwaktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat amat meriah.

Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan !

Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.

"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong ! Saya pesankan arak Hang-ciu yang paling baik ! Kongcu perlu hidangan yang paling lezat ? Restoran Can-lok atau rombongan penyanyi ? Anak buah Bibi Congcantik-cantik, muda dan suaranya emas atau Kongcu suka ehmm ditemani bidadari jelita ? Tinggal pilih menurut selera Kongcu."

Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka jangan bicara sambung-menyambung membikin bising.

"Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!" katanya tertawa. "Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main yangkim meniup suling, pandai bernyanyi dan pandai bermain catur."

"Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan enak, tidak terganggu dari luar"

Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yangkim meniup suling saja.

"Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak?"

"Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu, perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas cni saja untuk semalam suntuk!"

"Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak ? Pandai bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!"

"Wah, wah yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah) seorang . Seorang bidadari yang tercantik dan termahal disini!"

"Bagus ! Kaupanggil Ang-siauw-hwa untukku", kata Kwee Seng, senang hatinya.

"Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biarpun tidak secantik Ang-siauw-hwa atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak"

Hati Kwee Seng sudah kecewa. "Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak mungkin memanggil dia ? Berapa harganya ? Aku sanggup bayar!"

Orang-orang itu menggeleng kepala dan seorang yang setengah tua berkata, suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain, "Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat terkenal disini dan setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang, biarpun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main catur atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan."

"Bagus, dialah pilihanku ! Panggil dia!" Kwee Seng tertarik sekali.

Akan tetapi orang-orang itu menggeleng kepala. "Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe (Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu."

Ia menuding ke arah tengah telaga di mana tampak sebuah perahu Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta bersama lima orang pendekar yang menjadi tamunya. "Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa berada di sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara suling tiupan Ang-siauw-hwa."

Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan suling yang merdu dan halus.

"Lebih baik jangan panggil dia, kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu pilih sendiri. Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut belaka."

"Ah, kenapa?" Kwee Seng terheran.

Beberapa orang memberi isyarat akan tetapi pembicara itu agaknya sudah terlanjur dan berkata, "Pagi tadi timbul keributan karena dia, Lo Houw (Macan Tua), Seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini, memaksa hendak mengajak Ang-siauw-hwa dan biarpun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil Lim-wangwe, Lo houw tidak mau peduli dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami sayang kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan tetapi, apa terjadi ? Lo Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!" Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biarpun ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka terlihat orang.

"Ah, apa yang tejadi?" Kwee Seng makin tertarik.

"Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke perahu besar dan memaki-maki. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu terlempar ke dalam air!"

"Ha-ha, dia harus berenang ke tepi!" kata seorang lain.

Kwee Seng tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran yang lebih hebat lagi. "Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang baik, sediakan satu guci arak da cawannya bersama sedikit daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya, lebihnya boleh kau miliki."

Kwee Seng mengeluarkan dua potong uang perak yang diterima dengan tubuh membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan rejeki.

"He, tukang perahu jembel ! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak wangi, lima kati daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona-nona manis lima orang yang cantik-cantik dan muda-muda ! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan tadi, siapa namanya?"

Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat, juga semua tukang perahu memandang dengan mata terbelalak, tak seorangpun menjawab.

Pembicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi daripada orang yang berukuran tinggi umum. Melihat pakaiannya yang sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia seorang hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur ? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya makanan dan minuman yang serba lima takar, juga memesan lima orang perempuan lacur ? Pertanyaan-pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu menjawab.

"Heh ! Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja ? Apakah kalian tuli dan gagu?" Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun itu membentak.

Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawa-tawa. "Maaf eh, Lo-suhu tapi.... tapi yang Lo-suhu pesan begitu banyak"

Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan tenang, menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan hwesio aneh ini.

"Heh-heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan membayar arak, apakah kau kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai uang?" Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi-pundi itu danhwesio itu memperlihatkan potongan-potongan uang emas dan perak ! Para tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.

"Maaf, maaf, Lo-suhu, bukan sekali-kali saya meragukan Lo-suhu takkan dapat membayar. Hanya, Lo-suhu seorang diri, Pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang bidadari"

"Heh..heh, goblok ! Apa salahnya ? Malah kembangnya pelacur itu harus pula melayani aku, berapapun biayanya akan ku bayar."

"Tapi, Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di perahu mewah yang berada di sana" tukang perahu itu menunjuk. Hwesio tinggi besar memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek.

"Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua. Cepat dan nih uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!" Hwesio itu mengeluarkan belasan potong uang perak dan melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar sampah saja.

Gegerlah para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka kejatuhan rejeki besar. Seperti berlumba mereka lari kesana-kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh. Akan tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya dan begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi.

"Hemmmm, Menjemukan sekali." Pikirnya. "Kalau para pembesar negeri suka mencuri uang negara dan makan sogokan seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya melanggar pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?" Berpikir sampai disini hati Kwee Seng merasa kecewa sekali. Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah sehingga kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak tenggelam ke dalam air telaga, kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit memang ia tidak begitu suka minum arak.

Makin gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah di situ. Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikitpun awan, permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, seakan-akan terbakar menjadi emas, berkilauan. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan bunga-bunga teratai yang berkelompok disana-sini mulailah menari-nari menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang berkeliaran di permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga itu.

Tiba-tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara suling dengan jelas sekali.

Akan tetapi ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa biarpun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan jantungnya. Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe yang sedang menyambut lima orang tamunya dan mungkin sekali suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu tadi !

"Hemm, kalau benar wanita itu yang meniupnya, lumayan ! juga ! Setidaknya, kalau seorang pelacur saja dapat meniup suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar biasa. "

Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa-tawa memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu gembira dan kagum. Tak lama kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu Bulan mengembara cari kekasih. Kalau tadi kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit mendengar betapa lagu kesayangannya dirusak orang. Karena tidak dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengaruh oleh hawa arak itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya dan tak lama kemudian melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di permukaan telaga, mendesak suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak terdengar lagi.

"Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!" Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna merah muda, berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti seorang dewi telaga. "Ah, kalau saja aku bersayap, kuakan terbang membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu sahabat"

Kwee Seng tercengang. "Inikah pelacur yang berjuluk Ang-siauw-hwa ? Pantas saja terkenal menjadi kembangnya sekalian pelacur di daerah Telaga Barat ini", pikirnya sambil memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si gadis, akan tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai bersyair.

Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perah kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara memanggil dari bilik perahu besar dan nona berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu besar.

Bersambung Jilid Ke-8

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009