Suling Emas Jilid 70

"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.

"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe untuk mempersilahkan Goanswe mengenakan pakaian ini kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.

Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu, terlipat rapi, tampak satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!

"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah. Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda.

Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"

Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."

Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu, para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"

Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara, karena kata-kata perbuatanmu berdasarkan kepalsuan belaka, seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"

Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar. Sementara itu, panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."

"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" Terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.

Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung daripada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh. Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau. Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa.

Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti, akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?

Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"

Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!

Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan daripada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.

Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan mengucapkan "Banswee!" (Hidup) berkali-kali.

Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."

Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."

Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.

Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar ! Hidup Kaisar!"

Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah: Dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini, akan dihukum mati!"

Para komandan menyatakan taat dan setelah memberi hormat, keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik dan lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian. Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.

Demikianlah, seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).

--o--

Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.

Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biarpun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya.

Guratan yang timbul dari penderitaan batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam. Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri daripada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhunya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.

Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhunya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.

"Bu Song, kitab ini biarpun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal inipun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."

Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!

Bersambung Jilid ke-71

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009