Suling Emas Jilid 71

Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"

Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.

"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.

"Kebetulan sekali, Twako. Kautolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"

Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"

"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to..."

"Wah...!" Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.

Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"

Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketekutan ketika memandang Bu Song.

"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."

Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.

"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"

"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"

"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"

"Mengapa begitu?"

"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."

"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.

Melihat lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."

"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."

"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu..."

"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"

Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat daripada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!

Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."

"Jangan kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."

Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan Si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram! Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.

Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat. "Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!" Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.

Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya

Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.

Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena buktinya tanpa tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kananya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tadi ia diserang lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.

"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa juga."

Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini.

Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam. Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!

Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya. Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.

Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.

"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.

"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"

Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"

Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong?

"Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.

"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.

"Sama sekali bukan, Paman."

"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"

"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."

"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kaubacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"

Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.

Bersambung Jilid ke-72

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009