Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk, karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka. "Desss!!" Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua. "Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan
tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan. Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan samapi ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kauceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi. Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!"
Mereka berkata ketakutan. Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."
"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab,
lalu bibirnya bergerak.
"Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat,
"Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
"Sudah, Paman."
"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kaubawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..."
"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!"
Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
"Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu! Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sin-kangnya. "Byurrr...!" Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?" Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song. Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun. Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya.
Kita tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya. "Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan saja dia dari muka bumi!"
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapapun juga Suma Boan menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan keluar."
"Jalan keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan keluar yang baik dan terhormat. Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup "berharga" untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku mengerti, Ayah." Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi sahabat, murid, juga "antek" Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Bersambung Jilid ke-73
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka. "Desss!!" Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua. "Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan
tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan. Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan samapi ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kauceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi. Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!"
Mereka berkata ketakutan. Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."
"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab,
lalu bibirnya bergerak.
"Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat,
"Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
"Sudah, Paman."
"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kaubawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..."
"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!"
Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
"Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu! Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sin-kangnya. "Byurrr...!" Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?" Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song. Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.
Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun. Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya.
Kita tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai ayahnya itu.
Melihat betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya. "Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan saja dia dari muka bumi!"
Suma Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapapun juga Suma Boan menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah, harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat. Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan keluar."
"Jalan keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan keluar yang baik dan terhormat. Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah, sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup "berharga" untuk menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah. Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku mengerti, Ayah." Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi sahabat, murid, juga "antek" Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Bersambung Jilid ke-73
Posting Komentar