Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini. Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu Song dipaksa saling makan dan dalam waktu singkat biji-biji catur mereka yang berada di atas papan tinggal sedikit. Sekarang mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu muslihat dan ternyata merupakan tingkat permainan catur yang tinggi!
Bu Song kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh. Kakek itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan, matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak bergerak seperti mati.
Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!
Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan yang ulet bukan main. Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!
Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur." Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali.
"Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku kalah?"
"Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid siapa?"
"Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya."
"Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari Si Gila itu?"
Tak senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada sepersepuluhnya!"
Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!" Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!"
"Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kaubikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab, "Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan memaksa."
Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!"
Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!
Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala. Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!" Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek Lojin marah.
"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, kaukeluarkan suling emas itu cepat-cepat!"
Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song. Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Mengacau Lautan).
Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula. Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki.
Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!" Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!" Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan. Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak.
Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya. "Plakkk!" Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas.
Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kauajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu.
Bersambung Jilid ke-75
Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!
Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan yang ulet bukan main. Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!
Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur." Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali.
"Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku kalah?"
"Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid siapa?"
"Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya."
"Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari Si Gila itu?"
Tak senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada sepersepuluhnya!"
Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!" Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!"
"Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!"
"Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kaubikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab, "Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan memaksa."
Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!"
Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!
Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala. Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!" Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek Lojin marah.
"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, kaukeluarkan suling emas itu cepat-cepat!"
Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song. Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Mengacau Lautan).
Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula. Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki.
Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!" Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!" Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan. Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak.
Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya. "Plakkk!" Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas.
Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kauajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu.
Bersambung Jilid ke-75
Posting Komentar