Maka ia lalu menjawab, "Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat.
"Coba kauberitahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat.
"Coba kauberitahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!" Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kauperdengarkan, akan kuhafalkan!"
Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!
"Anak baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Locianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!
Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak.
Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan. Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu Song, lekas kaumainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak baik!"
Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini membantunya, membantu membuka "pintu" dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri.
Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan. Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak.
Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Locianpwe!"
Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati! Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata!
Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Locianpwe...!" Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan? Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata,
"Locianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Bersambung Jilid ke-76
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!" Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kauperdengarkan, akan kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,Bu Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya, sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!
"Anak baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Locianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!
Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak.
Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan. Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu Song, lekas kaumainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak baik!"
Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini membantunya, membantu membuka "pintu" dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri.
Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan. Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak.
Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Locianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Locianpwe!"
Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati! Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata!
Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Locianpwe...!" Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan? Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata,
"Locianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Bersambung Jilid ke-76
Posting Komentar