Suling Emas Jilid 82

Begitu orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling di depan pintu tenda! Bu Song cepat melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhunya. Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng, pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir. Bu Song menundukkan kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhunya dibawa ke dalam tenda dan dibaringkan.

Bu Song lalu mencabut hui-to yang menancap di pundak kirinya. Darah mengucur keluar, akan tetapi segera berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah di pundaknya dan menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Ia tidak khawatir akan racun, karena menurut suhunya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu song mencari dan memilih tempat yang baik di lereng Gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan mengubur jenazah suhunya, menaruh sebuah batu besar di depan kuburan. Kemudian ia mengerahkan tenaga, dengan jari telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada permukaan batu itu dan terjadilah goresan sedalam dua senti meter yang membentuk huruf-huruf indah.

“MAKAM PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG“

Setelah itu, Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur mayat yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah Pegunungan Tai-hang-san. Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik mayat tentara Sung maupun mayat orang Khitan. Bu Song membantu sekuat tenaga. Saking banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan dilanjutkan sampai keesokan harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang. Ketika pada keesekokan harinya akhirnya semua mayat terkubur, penduduk dusun tidak melihat lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian tanpa mengeluarkan sepatah katapun itu.

Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan keadaan perang dan segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, yang selalu taat dan patuh dan takut, mereka inilah yang selalu menjadi korban terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat. Mereka harus mengubur semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka terancam oleh bahaya menjalarnya wabah penyakit yang hebat.

Setelah gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada timbul ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya yang sampai kini tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia bertemu dengan ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasihati ibunya itu yang hendak membunuhnya!

Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena sikap dan kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya lalu menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus dosa-dosanya! Akan tetapi Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng. Betapapun juga, cinta kasih yang terpendam dalam hatinya takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng, gadis yang telah merampas hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya?

Karena rasa rindunya kepada Suma Ceng tak tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga ibunya, sebaliknya ia lalu pergi lagi ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia hendak mencari suhunya dan mendengar bahwa suhunya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia segera keluar dari kota raja untuk menyusul suhunya. Sekarang ia pergi ke kota raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu tentang diri kekasihnya, Suma Ceng.

Ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja, hatinya berdebar. Ia tahu betapa perhubungannya dengan Suma Ceng kurang lebih tiga tahun yang lalu, telah menimbulkan kegemparan di dalam rumah tangga keluarga Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau tidak ditolong suhunya, tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi bagaimanakah dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia membayangkan jangan-jangan kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah telah mati! Ia menggeget giginya. Ia harus menyelidiki dan membuktikan bahwa Suma Ceng kekasihnya tidak sengsara hidupnya.

Ia memasuki pintu gerbang kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena Bu Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja yang paling sunyi. Mendadak ia mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan. Bu Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh tambalan akan tetapi baik baju maupun tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih patut disebut pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh tambalan dan butut.

Tertarik hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh mengherankan betapa belasan pengemis itu yang kelihatan murung dan muram wajahnya, dimaki-maki oleh Si Pengemis Baju Bersih sama sekali tidak berani membalas atau marah. Bahkan seorang diantara mereka, yang usianya sudah amat tua, dengan muka sabar berkata,

"Sudahlah, Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak mengenal siapa adanya engkau."

"Huh, memang kalian ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi jembel, masih bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat kenamaan dan anggauta-anggauta Sin-kauw-bukoan? Huh!" Pengemis muda baju bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang.

Tendangan keras dan mengandung tenaga, mengenai perut kakek jembel itu mengeluarkan suara berdebuk keras. Bu Song terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju bersih itu memiliki tenaga kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh kakek itu. Diam-diam ia merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian Si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa dihina diam dan mengalah saja? Bahkan kini pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki,

"Kau hendak melawan? Mengandalkan ilmu kepandaianmu?" Sambil memaki, pengemis baju bersih ini menggerakkan kaki tangannya, menghantam dan menendang. Biarpun kakek itu dapat menerima tendangan dan pukulan ini tanpa terluka, namun ia terhuyung-huyung dan ketika ia mundur-mundur, tak diketahuinya bahwa di belakangnya terdapat selokan. Kakinya terpeleset dan ia jatuh ke dalam selokan yang airnya kotor! Pengemis baju bersih itu tertawa bergelak, lalu pergi dari situ dengan lagak sombong. Para pengemis baju kotor yang lain hanya memandang lalu menundukkan kepala sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa mereka ini pun menahan kemarahan hati dan melihat gerak-gerik mereka, Bu song dapat menduga pula bahwa mereka ini pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah oleh pengemis baju bersih yang sombong tadi. Akan tetapi mengapa mereka itu, seperti juga kakek yang dipukulinya tadi, diam saja dan mengalah?

Setelah pengemis baju bersih itu pergi tak tampak lagi, kakek pengemis yang jatuh ke dalam selokan tadi membanting banting kaki dan menarik napas panjang berulang-ulang sambil mengeluh, "Aahhh... heh...!"

"Suhu, mengapa Suhu menerima terus-menerus penghinaan macam ini? Mari kita serbu saja dan mengadu nyawa dengan si bedebah!" Seorang pengemis yang termuda berkata, suaranya mengandung penasaran.

"Hushh, jangan bicara sembarangan!" Kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya.

Seorang pengemis lain yang lebih tua berkata, "Twa-suheng (Kakak Tertua), ada benarnya juga ucapan muridmu. Seorang gagah lebih baik mati daripada mengalami penghinaan dalam hidupnya!"

"Sudahlah, Sute (Adik Seperguruan). Melawan tanpa perhitungan kepada lawan yang jauh lebih kuat sehingga lebih merupakan bunuh diri, bukankah gagah namanya, melainkan bodoh. Siapa orangnya mau mengalami penghinaan? Aku pun tidak suka, akan tetapi kita harus mencari jalan keluar yang baik, menanti kesempatan yang tepat!"

"Akan tetapi sampai kapan kita menanti lagi, Suhu?" Si murid mendesak, "Mungkin Suhu cukup sabar menghadapi semua penghinaan itu, akan tetapi teecu (murid) tidak dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau mereka itu berani sekali lagi melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani tanggung apakah teecu akan dapat menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan dengan taruhan nyawa! Teecu rasa, biarpun akhirnya kita kalah oleh Si Bedebah she Pouw, namun sebelum kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan orang musuh sehingga mati pun tidak penasaran!"

Si Kakek kembali menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Percuma... tidak ada gunanya...!"

Bu Song adalah seorang yang masih muda. Melihat sikap pengemis baju bersih tadi pun ia sudah merasa mendongkol hatinya. Kini mendengarkan pembantahan antara guru dan murid ini, ia merasa penasaran dan tanpa disadarinya ia lalu berkata,

"Muridnya begitu bersemangat, gurunya begini melempem, sungguh lucu. Kalau seseorang sudah kehilangan keberaniannya menentang si jahat, dia tidak patut menjadi guru lagi!"

Pengemis termuda yang menjadi murid kakek itu tiba-tiba melompat ke depan Bu Song dan semua pengemis kaget dan heran. Mengapa ada orang mendekati mereka tanpa mereka ketahui?

"Eh, orang muda, lancang sekali mulutmu berani menegur Suhu! Tidak tahukah engkau dengan siapa kau berhadapan? Suhu adalah Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat Liong berjuluk Kepalan Monyet Sakti), dahulu jagoan kota Sin-Yang! Hayo lekas kau minta maaf dan menarik kembali omonganmu yang lancang kalau kau tidak ingin merasai pukulanku!"

"Aihh... aihh...! Kenapa mendadak menjadi begini galak? Tadi ada pengemis tolol memaki-maki lalu memukul dan menendang Kakek ini sampai masuk selokan bau, kau diam saja!"

Sejenak mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang termuda di antara mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah.

"Urusan sesama kaum kai-pang (perkumpulan pengemis) tidak ada hina-menghina, pula merupakan urusan dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau ini orang luar berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas orang-orang Sin-kauw-bukoan yang terkenal?"

Bu Song tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti). Kalau mereka ini bekas orang-orang perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan agaknya golongan pengemis yang paling rendah tingkatnya. Buktinya tadi diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak berapa tinggi, mereka ini tidak berani melawan.

"Aku bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?" Bu song sengaja memancing kemarahan orang dan cepat sekali pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada disusul dengan tangan kiri mencengkeram ke arah lambung. Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka ini, terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan setingkatnya.

Dengan tenang ia menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk memancing lawannya. Benar saja, lawannya terkena pancingannya karena menyangka bahwa ia tidak begitu lihai sehingga dengan girang lawannya sudah menubruk maju, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti kena. Bu Song memiringkan tubuhnya, menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya, yaitu ujung sepatunya menotok sambungan lutut. Tak dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!

Terdengar teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu. Pukulannya jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid keponakannya yang kini sudah merangkak bangun sambil memijit-mijit lututnya. Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi, apalagi paman guru ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang menghina tadi. Apalagi kepandaian Si Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu! Mengapa mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang luar seperti dia, biarpun kata-katanya sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina, mereka sudah turun tangan?

Di samping keheranannya ini, hatinya pun tertarik dan suka kepada para pengemis baju kotor ini. Jelas bahwa jika maju seorang demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju mengeroyok. Hal ini saja membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan orang-orang jahat yang mengandalkan kepandaian atau teman banyak untuk berlaku sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya adalah sikap orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu kepandaian secara gagah pula.

Karena tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan gerakan indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang disertai tenaga dalam. Biarpun dorongannya tidak menyentuh dada orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan lagi, roboh terjengkang ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri tidak terbanting keras! Namun hal ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini sama sekali bukan tandingannya.

Bersambung Jilid ke-83

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009