Suling Emas Jilid 83

"Kau hebat, orang muda!" Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini adalah kakak seperguruan dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh dan kuat sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap dari depannya!

Pengemis yang berwajah muram ini kaget dan bingung, lalu mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, kiranya lawannya sudah berada di situ, enek-enak saja tersenyum dan memandangnya. Ia menjadi penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak mencengkeram.. Hebat tubrukannya ini, karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti ke mana lawan akan mengelak.

Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat dan jarang sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya yang muda itu berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu sudah melewati atas kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu berkelebat menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia sempat membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan yang hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru,

"Hebat... aku mengaku kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata terbelalak keheranan.

Kini kakek tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu Song, berkedip-kedip penuh keheranan. "Melihat gerakanmu, orang muda, kau mengingatkan aku akan seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi, akan tetapi ternyata mengecewakan hatiku..."

Makin tertarik hati Bu Song. "Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?”

"Ah, jangan sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi melainkan seorang jembel busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai (Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan sebagai rahasia, biarpun dia sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi karena gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku kalah bertaruh dan akan kusebut namanya di depanmu. Kau jagalah, orang muda!"

Kakek itu menerima sebatang toya kuningan yang kedua ujungnya dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua tangnnya, benda itu seakan-akan menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya. "Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"
==============================
Sesungguhnya, biarpun kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada si murid atau sutenya tadi, ia tidak takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang yang dahulunya tentu ternama, ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka, apalagi Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat dan murid-muridnya ini yang telah merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping rasa iba ini, ada pula rasa penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi sikap seorang gagah.

"Kauwsu, bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku mengeluarkan senjata? Aku tidak mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau kau hendak main-main, silakan mulai."

Kakek itu kelihatan marah sekali. "Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas! Sekarang ada engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang muda, jangan salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal kasihan. Kau sambutlah!"

Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar dahsyat, menyerang dengan pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song disusul gentakan ujung lain yang menyusul dengan hantaman ke arah kepala andaikata pukulan pertama dapat dielakkan. Akan tetapi, sekali berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut, cepat membalikkan tubuh menggerakkan toyanya menerjang ke belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang muda yang dapat bergerak luar biasa cepatnya itu tadi telah berada di belakangnya sehingga serangan susulannya ini tepat sekali. Dengan tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda itu mengelak ke kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan, menghantam leher lalu disontekkan lagi, menggunakan ujung yang lain menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat, dan biarpun ia sudah tua, namun kedua ujung toya itu tiap kali digerakkan, menggetar dan dilihat dengan mata biasa, ujungnya berubah menjadi puluhan batang.

"Ilmu toya yang bagus!" Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa diketahui kakek itu saking cepatnya. Dari belakangnya, Liong-kauw-su merasa betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda kuning berkilauan di tangan. Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya akan mudah merobohkannya, atau merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh ujung toya dari belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh? Akan tetapi orang muda itu tidak melakukan hal ini bahkan mengeluarkan senjata, padahal dengan tangan kosong sekalipun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan orang muda ini. Ketika ia memperhatikan senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga sutenya berseru,

"Kim-siaw (Suling Emas)...!"

Bu Song memandang suling emas di tangannya dan pada saat itu, jantungnya berdebar aneh. Nama yang bagus! Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan hal-hal yang menyedihkan! Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan ia akan ayah bundanya yang cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara. Mengingatkan ia akan pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir, akan kematian Kwee Eng yang sudah dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian, yang masih membekas dalam sekali di kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng, wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas. Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial!

Akan tetapi ia tidak dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar dibarengi seruan Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan merupakan tali emas yang menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah lagi oleh Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari tangannya, melayang tinggi ke atas dan ketika turun, disambut oleh suling di tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti melintang di atas suling yang disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata.

"Terimalah kembali toyamu, Liong-kauwsu!"

"Hebat...! Kau lebih hebat daripada Kim-mo Taisu...!" Kakek itu berkata dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Juga murid-muridnya serta sutenya memandang penuh kekaguman. "Dan suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami mengetahui, siapakah namamu yang mulia?"

Bu Song tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan muka, kemudian berkata, "Suling emas... suling emas... inilah namaku... Suling Emas!"

Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalamannya. Ia maklum bahwa orang muda ini adalah seorang sakti yang tidak mau memperkenalkan namanya. Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang muda yang luar biasa ini akan dapat membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang selama puluhan tahun ia derita.

Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak, "Lagi-lagi ada manusia tak berbudi yang berani menghina kaum jembel mengandalkan kepandaiannya?"

Para kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya, mulai sekarang kita mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian mukanya. Juga capingnya itu butut, compang-camping pinggirnya. Namun tubuh orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak berjenggot. Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut.

Setelah berkata demikian, serta merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas dengan serangan-serangan kilat.

"Eh, sahabat.. jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) tidak..." Liong-kauwsu tidak melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memotong.

"Biarlah, Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"

Memang Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak sejurus saja tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada tingkat kakek guru silat itu. Pukulan kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus, seakan-akan tidak mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenagan sin-kang yang amat kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh dan membingungkan, cepat sekali membuktikan bahwa gin-kang orang ini pun sudah mencapai tingkat tinggi!

Suling Emas sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia mengelak lalu balas menyerang, juga ia mempergunakan kecepatan gerakannya. Ketika merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sampai hampir berjongkok untuk menghindarkan hantaman kedua tangan kearah dada dan leher tadi, sambil secepat kilat membalas dengan tusukan jari-jari tangannya ke arah pusar lawan, dengan amat cepatnya tubuh lawannya itu sudah melambung tinggi sehingga tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis itu sudah berjungkir balik dan kini melakukan serangan dari atas, dengan kepala di bawah kaki di atas, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan bergerak membentuk lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan keluar!

Suling Emas maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak ada jalan untuk mengelak. Satu-satunya jalan hanyalah mengadu tenaga. Karena lawan ini melayang turun sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh serta tenaga luncuran turun, tentu saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya. Namun ia tidak gentar, bahkan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan berakar di atas tanah, membiarkan lawan melayang turun sampai dekat lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak mengimbangi kedudukan kedua tangan lawan untuk menangkis.

"Dukkk...!!" Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pengemis itu mencelat ke atas sampai lima meter lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas sungguhpun tidak tergeser, namun kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai lewat sepatunya! Pengemis ini memang hebat. Walaupun tubuhnya terlempar begitu tinggi, namun ia tidak kehilangan akal. Beberapa kali pinggangnya bergerak, tubuhnya melentik seperti ular dan ia sudah berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya dan meloncat turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi Suling Emas. Keduanya saling pandang, penuh kekaguman.

"Kepandaianmu luar biasa sekali, sobat!" kata Suling Emas sambil tersenyum. Kata-kata ini keluar dari hatinya yang tulus, karena memang ia kagum menyaksikan kepandaian pengemis ini. Pula, ketika terlempar ke atas, caping pengemis itu terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup tampan dan gagah. Wajah yang banyak membayangkan kepahitan hidup, rambutnya awut-awutan, namun bersih dan mengandung cahaya bersemangat.

Di lain pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran, kagum, dan juga kaget. Tentu saja ia tidak menyangka akan berhadapan dengan orang yang begini sakti. Mendengar ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu, ia salah sangka, mengira bahwa lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan sinar mata tajam, mulutnya berkata penuh geram, "Orang muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau tertawa-tawa lebih dahulu. Aku Yu Kang baru menerima kalah kalau kau mampu mengalahkan senjataku ini!"

Suling Emas sudah menaruh hati sayang kepada pengemis yang amat lihai ini, maka ia tidak ingin menanam permusuhan. Akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, pengemis yang bernama Yu Kang itu dengan jari-jari kaki telanjang telah mengenjot tanah dan tubuhnya melayang ke depan Suling Emas, tangan kanannya sudah memegang sebatang tongkat rotan kecil. Tongkat itu tadinya terselip di belakang punggungnya.

Bersambung Jilid ke-84

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009