Suling Emas Jilid 90

Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh. Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak.

Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian. Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah, "Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?"

Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

"Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)."

"Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.

"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya. Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.

"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam. Suling Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw.

Kalau gadis ini mampu memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini. Kalau saja Suling Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw), tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya.

Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."

"Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling EMas adalah nama yang cukup terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak."

Suling Emas pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"

"Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" Bantah gadis itu. "Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!"

Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya uang bidanh sambil berkata, "Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata."

Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan orang tak kan bisa sakit hati karena ketawa ini. "Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"

"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menggibur hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."

Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya. "Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"

"Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.

Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak, "Tangkap dia! Rampas sulingnya!"

Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk suling emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murud-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling yang terselip di ikat pinggangnya.

Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya…anak buahnya terpelanting dan terlempar ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang orang anakbuahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.

Bukan main marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" Bentaknya dan di lain saat ia sudah meloloskan sepasang cambuknya. "Wuuut….tar-tar….!" Sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!

"Bagus…!" Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu menggerakkan tubunya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka suling emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan Kapas Sakti) sambil mengerahlan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.

Diam-diam Suling Emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu , melihat kelihaian suling emas, seorang diantara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.

Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata, "Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"

Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!

Akan tetapi dengan gerakan aneh. Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, berteriak, mengerahkan tenaga tanpa hasil.

"Tar-tar-tar!!" Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata, berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat ke belakang.

"Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpang sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.

Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.

"Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!

"hemm…hemm…!" Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas. Di lain pihak, Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biarpun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.

"Harap Lo-enghiong sudi memafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu….terlalu galak…"

"Nama Suling Emas sudah terkenal sampai disini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku , wakil ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kausambutlah pecutku ini!"

Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.

"Plak…!!!" ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat tenaga dalamnya.

"Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!" Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.

Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.

Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan.

Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledak-ledak, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti ditiup mulut.

Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Di lain saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.

Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.

"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.

Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata, "Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki di sini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."

Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"

Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab, "Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe."

"Aaahh…? Mendiang, katamu..?"

"Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."

"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"

Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk…."

"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"

"Saya….saya mohon berjumpa dengan …Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."

Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo…"

"Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"

"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kausampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah…bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah bibinya.

"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak kausampaikan kepada Twa-kauwcu."

Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?

"Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi…saya hanya dapat bicara di depan…Beng-kauwcu sendiri…"

Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,

"Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami."

Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.

Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.

Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat setelah membongkokkkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.

"Kau Suling Emas?" Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu. Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Kamu murid Kim-mo Taisu?"

Kembali Suling Emas hanya mengangguk.

"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.

Bersambung Jilid ke-91 (Tamat)

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009