Suling Emas Jilid 14

Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat.

Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan.

Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar ?

Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.

Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu ! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.

"Nona yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.

Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.

"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?"

"Penjahat cabul jahanam! Di tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang beremu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar suara Kwee Seng dari atas
genteng.

Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada di tangan kanannya.

"Heeeei! Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang berani!"

Tahu-tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.

Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin marah.

"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?" Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri di depannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai.

Kwee Seng tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum pernah!"

"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"

"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!" kalaimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!" Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.

Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini. "Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan menuyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan ke atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada!

Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!

"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!"

Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.

Diam-diam kwee seng kagum juga. “Sayang sekali”, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah sayang kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kir, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.

Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-o-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali!

Celaka, pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng,sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderita rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.

Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakan telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.

Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya. Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.

"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ... " Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas ! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren berpengaruh.

"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?" Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata, "Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"

Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku ? Aha, lucu ! Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.

Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari. "Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"

"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona..."

Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa-apaan ini Nona ? Mari bangkit dan duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."

Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.

"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku..."

"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"

"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.

Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi. "Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur."

"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.

Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.

Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.

Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.

Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.

Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.

Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.

Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan. Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari t! ur! un lagi menyongsong Kui Lan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.

"Eh... ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.

"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu ? Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ? Duduklah biar enak kita bicara."

Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.

"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara, suaranya menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.

"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main,orang Khitan keparat itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang baik dan mana yang buruk."

Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah kalau menolak terus "Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam."

"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.

"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku pesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku ini?"

Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.

"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu." Kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin, alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena kuatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan Si Gadis dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila kepada Lu Sian.

"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja."

"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"

Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu." Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hwat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata.

Bersambung Jilid ke-15

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009