Suling Emas Jilid 18

Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari ! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja ! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya ! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi !

Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati ! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai ! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya ! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini ? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu.

Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang..!

Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu ! Mata nenek itu ! Itulah mata Ang-siauw-hwa ! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa ! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila Si Nenek memandangnya.

"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?

Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam "rumah tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya ! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini !

Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan "sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.

"Nek... aku datang..."

"... pergi ! Mau apa lagi kau datang ? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"

"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu ? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu..."

Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian tedengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.

"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"

"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.

"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."

Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta ? Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya "kakanda"!

"Niocu.." katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan "niocu".

"Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."

"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini ! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!" Nenek itu memeluknya makin erat.

Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya ! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu halus ! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.

Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati ! Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa ! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa ! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia ! Mana mungkin ?

"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru.

Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa ! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu..."

Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir merah mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!

"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.

"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"

Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian !

Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.

Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.

Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita !

Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi !

Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput !

Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek !

Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri, "Plak-plak-plak-plak!" Begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan harus ia pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.

"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta..!

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.

Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik." Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.

Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda, mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.

"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.

"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."

"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"

"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !

Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.

Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda, dengan kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana terdapat seorang wanita muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.

"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.

"Tar-tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan kembali ! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku ? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu cepat-cepat menggendomg anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.

Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.

Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.

Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."

"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"

"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"

Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-atanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati" terhadapnya.

Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.

Bersambung Jilid ke-19

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009