Suling Emas Jilid 19

Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.

"Lai Li-hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.

"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."

Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang , baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ? Pantasnya dikirim ke neraka !"

Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menuju kepada Kui Lan

"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa semenjak saat berangkatnya sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.

Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam rumah itu.

Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha-ha-ha!" kata seorang yang duduk di kiri.

Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"

Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.

Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.

"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ? Apakah hendak menemaniku makan minum?"

Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.

"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.

"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada permusuhan di antara kita!"

Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat ! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"

"Eh, kau apanya Kam Si Ek?"

"Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya.

Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.

Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.

"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"

Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."

"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan di mana Kam Si Ek akan di tahan !"

"Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.

Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.

Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng !

Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.

Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.

Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.

Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !

Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.

"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini ? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."

Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau..."

"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.

"memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."

"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.

Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.

Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia mengerahkan lwee-kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka. Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !

Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah
tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).

Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari luar kin tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah bekas telapak kaki pada debu di lantai masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.

Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.

"Wer-wer-wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.

"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.

Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"

Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"

Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok, wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.

"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.

Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu ! mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"

Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan..."

"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.

Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.

"Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to ? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."

"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja !

"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"

Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"

Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus sekali ! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw ! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ? sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian ! Aha, kebetulan sekali!"

Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya se arah dada lawan.


Bayisan cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.

"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.

"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagia..."

"Tranggg!" Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya. Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang bergerak.

Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang dan sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !

Bersambung Jilid ke-20

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009