Suling Emas Jilid 20

Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya. Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya mebabat kedua kaki, begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !

“Menjemukan!" Lu Sian berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya !

"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng ! Akan tetapi ia selamat daripada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.

"Perempuan liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu, kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."

"Tutup mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat keluar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan pengerahan tenaga sinkang.

Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut! "Trang, trang !" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.

Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi, ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga. Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biarpun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.

Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.

Setekah lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan kemenangannya dalam ginkang, cepat mempergunakan kemenangan ini, mengerahkan ginkangnya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun, tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tidak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya !

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa putus, maka sambil membalik tadi ia cepat membabitkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya ! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.

"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding. Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri daripada serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.

Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia menggentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan ! Ini masih belum hebat, biarpun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !

"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu. Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.

Pada saat itu, terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!" Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan , tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.

Munculnya tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.

"Masih pura-pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san ? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang. Melihat ini, Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, seungguhpun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela. Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"

Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek ?

Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula, cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum itu yang amis membuat mereka kaget sekali.

"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.

Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"

Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.

Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."

"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu..."

"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li-Hiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Li-hiap (Pendekar Wanita)."

"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan merkea tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian dimana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."

Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.

Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun Si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu. Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-siangkun sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya baik.

"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"

"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"

"Betul, Li-hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami rong-rongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya dan cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."

Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.

Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.

"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya dan ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki kemana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."

"Apa yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Li-hiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"

Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini, maka tanyanya cepat, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ? Kemana dibawanya Kam-goanswe oleh pasukan itu?"

"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."

Ke manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana.

"dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?"

"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Li-hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."

"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."

"Berhati-hatilah, Li-hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."

Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.

Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.

Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.

Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.

Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.

Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.

Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.

Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga ! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.

Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.

"Mana dia ? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.

Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."

Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"

Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.

"Kalian juga mengungsi ? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?"

"Kakek iblis ! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka ? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.

"Jawab ! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"

"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"

Bersambung Jilid ke-21

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009