Suling Emas Jilid 33

"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.

"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.

"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"

Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya dating kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.

"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."

Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.

Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.

"Koko, kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!

"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."

Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"

Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.

Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta.

Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!

Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya. Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah di waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang bulat!

Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang "dalam" atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.

Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya, Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin!

Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai

Akan tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang.

Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.

"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"

"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.

Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil berkata. "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang baik!"

Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."

"Cukup?" Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.

"Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!"

"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kaubilang itu terkutuk?"

"Perbuatan jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan.

Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!"

Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak. "Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku, mewarisi gin-kang dan menyeretku ke dalam hubungan jina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.

"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak kapankah kauketahui rahasiaku itu?"

"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau...."

"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah kaulempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki- lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki begitu rendah ahlak?"

Tan Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!"

Tan Hui meloncat jauh ke depan. Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar ke arah Tan Hui, disusul bentakannya, "Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"

Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil menangkap sebatang di antara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat jarum merah di tangannya itu. Tan Hui tertegun, kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki.

"Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan menyeret aku ke dalam jurang perjinaan, ya? Yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu sendiri!"

Lu Sian tersenyum mengejek. "Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"

"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..." saking marahnya Tan Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.

Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang mencari korban.

Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali, akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja menjadi amat berbahaya karena cepatnya. Biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu Sian belum mempelajari gin-kang istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan. Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang Coan- in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui sehingga biarpun dibandingkan dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah sedikit karena membuat ilmu pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya.

Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan di pagi hari itu.

Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci, dan menganggapTan Hui seorang musuh yang harus dibasmi. Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang. Di samping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga di dalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu Sian untuk membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara sungguh-sungguh.

Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat. Angin menderu-deru keluar dari sinar ini yang tadinya bergulung- gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah gin- kangnya maju pesat. Maka cepatlah gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu.

Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!

"Cepppp!" Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat mencabut pedang dan meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya itu.

Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka di perutnya sambil menekan keras-keras namun tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum pahit.

"Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak akan terjamin...?"

"Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"

Senyum di mulut Tan Hui berubah makin pahit. "Seorang pendekar tidak akan lari daripada maut. Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak, pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat serangan!" Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan tangan.

Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.

"Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..."

Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata, "Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tapi tak mungkin. Aku sudah jatuh...aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan kauturunkan gin-kang kepada orang lain... dan kalau kelak anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kauampunkan dia..." Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, kemudian ia diam tak bergerak lagi.

Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui. Setelah mati wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih. "Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"

"Celaka ia membunuh Tan-taihiap!" terdengar suara "sing-sing" dicabutnya golok dan pedang. Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah mengurungnya, sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu adalah tanda-tanda daripada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung, para piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!

“Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya aku?" suaranya terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum.

Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki. "Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"

"Syiuuutt, cring... crokkk!" piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar ke arahnya. Goloknya yang menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya terpental jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!

Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di tangannya berkelebat laksana naga mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun delapan orang itu menerjang berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap di antara sinar golok dan pedang para pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang! Hanya terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan tubuh bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah di sekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung!

Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali lalu pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Di halaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.

Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!

--oOo--

Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa.

Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.

Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya.

Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karen sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.

Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk membenci ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan!

Karena semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba cukup, maka biarpun sekarang telah menjadi seorang "gelandangan", namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih dan sehat, biarpun pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya yang menempel pada tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati, mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh karena inilah, Bu Song selalu tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak gembel.

Bersambung Jilid ke-34

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009