Pada suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai Huai yang subur daerahnya. Ia meninggalkan Kabupaten Jwee-bun dimana ia tinggal selama sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik rumah makan. Kini, dengan bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi meninggalkan Jwee-bun, terus ke timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai.
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya. Angin semilir berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung- burung hutan. Di sana-sini, binatang kelinci dengan telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain "sembunyi-cari" dengan teman-temannya di antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian nyaman perasaan pada pagi cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia alami maupun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka bermain-main dengan hati geli.
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya. Angin semilir berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung- burung hutan. Di sana-sini, binatang kelinci dengan telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain "sembunyi-cari" dengan teman-temannya di antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian nyaman perasaan pada pagi cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia alami maupun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka bermain-main dengan hati geli.
"Ha-ha-ha-ha! Akulah raja di antara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"
Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan itu. Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini ada seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan bengis-bengis. Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, menyeret seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh tambalan.
Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si gila ini tangan kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau kalkun, yang digerogotinya. Biarpun kedua lengannya terikat, ia kelihatan enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali tidak kelihatan takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak di dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa seperti itu?
Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng!
Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu. "He, bocah! Mau apa kau??" Seorang di antara para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi "tar-tar-tar" seperti mercon.
"Aku hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus biarpun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang dipegangnya, lau melirik ke kanan memandang Bu Song, tertawa dan berkata. "Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan sepotong!" Sedapatnya ia mengelurkan tangannya yang terikat untuk memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan terhuyung-huyung. "Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan penunggang kuda yang paling belakang, melecut ke arah Bu Song dan orang gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun bertenaga sehingga lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" Si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa menggerogoti paha panggang pula.
"Aku kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..."
"Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan baru hukum seret ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau masih tidak mau pergi?!" Kembali Si Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di sebelah Si Gila.
Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah jalur merah di pipi yang tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing, akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah kau, sampai jumpa pula!"
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata Si Gila itu, hanya ia dapat menduga bahwa Si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si Gila ini malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung sindiran yang memaki orang!
"Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?" Kembali cambuk itu melecut, mengenai kaki Bu Song dan sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar ke pinggir jalan, bergulingan. Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh bangun dan terhuyung-huyung, namun Si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum kepada orang gila itu.
Biarpun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten Jwee-bun ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya, Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat. Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengaa tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima orang itu, setelah membelenggu kedua tangannya, lalu bertolak pinggang dan berkata, "Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kaulah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada Suhu." Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!" Ia menari-nari di pinggir-pinggir jalan dan ketika mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya panggang paha yang berada di tempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh, "enak... enak, gurih sedap...!"
Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang berjatuhan di tanah, kemudian mereka hendak memukuli oarng gila itu. Akan tetapi Si Muka Hitam membentak.
"Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!" ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh pemilik warung dengan girang. Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan, anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang Warung, otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah telah melakukan perbuatan jahat.
Kwee Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak Kwee Seng berhenti dan berkata. "Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, Si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu, tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga cepat melompat turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak jerih.
Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan "bret, brett" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah. Kembali lima orang itu terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang mengurungnya. "heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai arak? Aku ingin sekali minum!"
Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi Si Muka Hitam menggeleng kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut, meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu kosong!
"Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap mulut dengan lengan baju. "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak perlu segala pura-pura ini!" Si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah tidak akan menyangkal perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya kau ikut baik- baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh.
"Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan lain."
"Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."
Lima orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau sudah mengenal Suhu, sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!" tegur Si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah , aku hendak pergi!" Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
Adapun lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti hendak melarikan diri, cepat lari mengejar dan mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap menerjang. Si Muka Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak. "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap Suhu!"
“Ha-Ha-Ha, aku akan menghadap Suhumu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa mempedulikan mereka. Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat membunuh Si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt... wrr-wrr-wrrr!" Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka terpental ke belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk terjengkang sedangkan senjata mereka lenyap entah ke mana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi! Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid- murid pilihan dari Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?
"Eh, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" Seorang diantara mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya ke belakang. Si Muka Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang lenyap tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong! Entah bagaimana bias menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak dapat menerka. Dengan penuh keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya, mereka bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat ke atas kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru mereka.
Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya malapetaka dari tangan Si Jembel yang sakti itu. Lima ekor kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat mereka melompat turun di depan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan gedung.
"Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" Demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus menuju ke ruangan dalam.
Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti patung, membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan tamu, menjamu seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa, seorang tamu berpakaian compang-camping yang bukan lain adalah.... Jembel gila yang mereka keroyok tadi! Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil tertawa.
"Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she Liong)?"
Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si Gila inilah mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu... eh, dia ini..." Si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.
"Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu mereka bicara dengan kagum akan seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun yang perbuatan-perbuatannya membuat namanya menjulang tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka menawan dan menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.
Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil berkata, "Mohon Taisu sudi mengampuni kekurangajaran kami berlima!"
Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara keren.
"Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?"
Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan, "Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki penjahat, telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."
"Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol." Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng.
Kwee Seng tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila terjadi kesalahpahaman, kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk di belakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh keseganan dan kekaguman.
"Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalah dugaan mereka karena dia pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang sudah terlalu tua dan tiada guna...." Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata. "Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di Hutan Ayam Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat merosot?" Setelah berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas bangkunya. Guru silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada di situ! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.
"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar suaranya dan ketika semua orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang" dan juga kekuatan lwe-kangnya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
Hemm, kauanggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku, bagaimana?" Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung terbuat daripada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan main. Kemudian toya itu diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara keras berkali-kali dan di lain saat Si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia bengong memandang ke atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada. Pendekar sakti itu sudah tidak berada di atas dinding itu memperlihatkan akibat serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar ini tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka yang berada di ruangan itu. Kini ia menghampiri Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa, "Kau yang begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."
Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya. "Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci besar arak wangi untuk Taisu!"
Biarpun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas panjang berkali-kali.
"Lo-enghiong, mengapa kausimpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu orang muda berpakaian gembel yang lihai sekali?" .
Liong Keng kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali dengan orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu, sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!" Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa hari yang lalu.
Liong Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat walaupun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima murid ia tidaklah asal orang mampu membayarnya saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin tidak mampu membayarnya. Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti, wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada orang yang berani mencoba-coba mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu, Liong Keng dan murid- muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah tempat judi Karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan tetapi tiba-tiba seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu." Guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang, aku menjadi kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, Kai-Ong itu datang dan membawa pergi Bi Loan!".
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan, kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu, menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah" dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap!".
Bersambung Jilid ke-35
Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan itu. Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini ada seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan bengis-bengis. Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, menyeret seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh tambalan.
Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si gila ini tangan kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau kalkun, yang digerogotinya. Biarpun kedua lengannya terikat, ia kelihatan enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali tidak kelihatan takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak di dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa seperti itu?
Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng!
Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu. "He, bocah! Mau apa kau??" Seorang di antara para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi "tar-tar-tar" seperti mercon.
"Aku hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus biarpun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang dipegangnya, lau melirik ke kanan memandang Bu Song, tertawa dan berkata. "Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan sepotong!" Sedapatnya ia mengelurkan tangannya yang terikat untuk memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan terhuyung-huyung. "Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan penunggang kuda yang paling belakang, melecut ke arah Bu Song dan orang gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun bertenaga sehingga lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" Si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa menggerogoti paha panggang pula.
"Aku kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..."
"Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan baru hukum seret ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau masih tidak mau pergi?!" Kembali Si Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di sebelah Si Gila.
Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah jalur merah di pipi yang tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing, akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah kau, sampai jumpa pula!"
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata Si Gila itu, hanya ia dapat menduga bahwa Si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si Gila ini malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung sindiran yang memaki orang!
"Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?" Kembali cambuk itu melecut, mengenai kaki Bu Song dan sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar ke pinggir jalan, bergulingan. Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh bangun dan terhuyung-huyung, namun Si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum kepada orang gila itu.
Biarpun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten Jwee-bun ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya, Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat. Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengaa tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima orang itu, setelah membelenggu kedua tangannya, lalu bertolak pinggang dan berkata, "Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kaulah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada Suhu." Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!" Ia menari-nari di pinggir-pinggir jalan dan ketika mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya panggang paha yang berada di tempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh, "enak... enak, gurih sedap...!"
Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang berjatuhan di tanah, kemudian mereka hendak memukuli oarng gila itu. Akan tetapi Si Muka Hitam membentak.
"Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!" ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh pemilik warung dengan girang. Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan, anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang Warung, otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah telah melakukan perbuatan jahat.
Kwee Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak Kwee Seng berhenti dan berkata. "Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, Si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu, tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga cepat melompat turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak jerih.
Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan "bret, brett" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah. Kembali lima orang itu terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang mengurungnya. "heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai arak? Aku ingin sekali minum!"
Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi Si Muka Hitam menggeleng kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut, meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu kosong!
"Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap mulut dengan lengan baju. "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak perlu segala pura-pura ini!" Si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah tidak akan menyangkal perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya kau ikut baik- baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh.
"Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan lain."
"Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."
Lima orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau sudah mengenal Suhu, sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!" tegur Si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah , aku hendak pergi!" Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
"Kalau To menyuram, dianjurkan prikebajikan!Nyanyian itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-khing pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat tertarik oleh pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia berada di Neraka Bumi, di mana terkumpul banyak kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini dibacanya. Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh akan keduniawian, bersikap bebas lepas seperti orang tidak normal!
Prikebajikan muncul tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah tangga hancur berantakan dianjurkan kerukunan!
"Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......! Hayaaaa...!
Hayaaaaa......!!!"
Adapun lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti hendak melarikan diri, cepat lari mengejar dan mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap menerjang. Si Muka Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak. "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap Suhu!"
“Ha-Ha-Ha, aku akan menghadap Suhumu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa mempedulikan mereka. Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat membunuh Si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt... wrr-wrr-wrrr!" Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka terpental ke belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk terjengkang sedangkan senjata mereka lenyap entah ke mana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi! Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid- murid pilihan dari Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?
"Eh, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" Seorang diantara mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya ke belakang. Si Muka Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang lenyap tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong! Entah bagaimana bias menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak dapat menerka. Dengan penuh keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya, mereka bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat ke atas kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru mereka.
Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya malapetaka dari tangan Si Jembel yang sakti itu. Lima ekor kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat mereka melompat turun di depan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan gedung.
"Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" Demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus menuju ke ruangan dalam.
Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti patung, membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan tamu, menjamu seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa, seorang tamu berpakaian compang-camping yang bukan lain adalah.... Jembel gila yang mereka keroyok tadi! Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil tertawa.
"Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she Liong)?"
Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si Gila inilah mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu... eh, dia ini..." Si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.
"Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu mereka bicara dengan kagum akan seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun yang perbuatan-perbuatannya membuat namanya menjulang tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka menawan dan menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.
Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil berkata, "Mohon Taisu sudi mengampuni kekurangajaran kami berlima!"
Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara keren.
"Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?"
Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan, "Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki penjahat, telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."
"Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol." Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng.
Kwee Seng tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila terjadi kesalahpahaman, kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk di belakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh keseganan dan kekaguman.
"Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalah dugaan mereka karena dia pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang sudah terlalu tua dan tiada guna...." Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata. "Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di Hutan Ayam Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat merosot?" Setelah berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas bangkunya. Guru silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada di situ! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.
"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar suaranya dan ketika semua orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang" dan juga kekuatan lwe-kangnya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
Hemm, kauanggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku, bagaimana?" Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung terbuat daripada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan main. Kemudian toya itu diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara keras berkali-kali dan di lain saat Si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia bengong memandang ke atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada. Pendekar sakti itu sudah tidak berada di atas dinding itu memperlihatkan akibat serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar ini tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka yang berada di ruangan itu. Kini ia menghampiri Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa, "Kau yang begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."
Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya. "Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci besar arak wangi untuk Taisu!"
Biarpun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas panjang berkali-kali.
"Lo-enghiong, mengapa kausimpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu orang muda berpakaian gembel yang lihai sekali?" .
Liong Keng kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali dengan orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu, sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!" Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa hari yang lalu.
Liong Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat walaupun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima murid ia tidaklah asal orang mampu membayarnya saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin tidak mampu membayarnya. Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti, wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada orang yang berani mencoba-coba mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu, Liong Keng dan murid- muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah tempat judi Karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan tetapi tiba-tiba seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu." Guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang, aku menjadi kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, Kai-Ong itu datang dan membawa pergi Bi Loan!".
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan, kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu, menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah" dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap!".
Bersambung Jilid ke-35
Posting Komentar