Suling Emas Jilid 35

Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!

"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapapun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" Suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.

"Baiklah, Lo-enghiong." Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannuya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara..." Perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!

Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."

Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya Si Raja Pengemis!

Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya seius, "Dari mana mau ke mana?"

Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"

Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak dan orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas menghardik. "Jembel kapiran! hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau mengemis!"

"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting. "Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak Si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung Si Pendekar Sakti.

"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "BAN HOA PO KOAN (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"

Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula?

"Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek Si Botak dan kedua orang penjag apintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut. Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan!

"Apakah modal sekian ini kurang cukup?" Dua orang itu menelan ludah menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan masuk...!"

Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri. Tempat setan dan iblis berpesta-pora, pikir Kwee Seng. Hawa udara panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas Karen kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.

Kwee Seng menhampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak bertumpuk- tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas. Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok. Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar. Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh Si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu Si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!

Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh. Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan Si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka Si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya, kemudian bertanya.

"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" Diam-diam Si Bandar ini merasa heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.

"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!"

Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap, dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"

Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.

"Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kaupertaruhkan?"

"Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"

Terdengar seruan "ah-oh-eh" ramai sekali ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan Si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh keringat Karena betapapun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.

"Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya.

Ada yang teratawa geli, ada pula yang kuatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang Si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.

"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?" Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi dan sebuah jarum yang jatuh ke lantai agaknya akan terdengar pada saat itu.

Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring. Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu. Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil.

Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan kalah. Sekarang, jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!

Baik!" katanya. "Semua orang disini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!" Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di bawahnya.

"Heh-heh-heh!" Si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"

Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya, dan ia tenang-tenang menjawab. "Aku tetap memasang angka ganjil!"

Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata. "Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar. "Heeeeeiiitt!"

Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah. "Ganjil... !" Semua mulut berseru.

"Aaahhhhh..." Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?

"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kaubayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.

Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi Bandar itu tidak memberi tanda maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa ha-hah-heh-heh. "Tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?".

Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah "botoh kendil!" ini. Botoh berarti penjudi, adapun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"

Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?

"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab Si bandar yang juga terheran-heran. Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah. "wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"

Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring. "Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"

"Ohhhh.....!!!" Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.

"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.

"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol." Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.

Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!" Si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.

"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas. Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.

"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!" Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.

"Wah, ganjil lagi...!!" seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget....!!!" Seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!

"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? Semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"

Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.

"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?" Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!

"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu. Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!

"Baiklah, Pangcu," kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya. Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya.

Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.

"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."

Mendengar ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya. Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan, karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar hati.

Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.

"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"

Keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang daripada tadi. Semua orang yang berada di situ, biarpun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.

Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata. "Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"

Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua.

Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sin-kang.

"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!" Si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.

"Ganjil lagi...!" Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!

Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata. "Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"

Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari!

Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, masih belum puas agaknya buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang bertanya.

Bersambung Jilid ke-36

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009