"Sahabat muda masih berani melanjutkan?" Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng, "Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi." Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan permainan!"
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng, "Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi." Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kaumainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kaukehendaki? Tentu bukan kemenangan uang." Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dariapada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga. "Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kauterima?"
Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kaudapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kaubayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kaubawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya kai-ong".
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!" Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri. Koai- tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!" Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana- sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!.
Pangcu, apa kau masih hendak berkeras? Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin- kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!" Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu? Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...." Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak arti baginya dan karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba...
"wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih." Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-aakan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus. Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka penderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!" tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san. "Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya.
Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu. "Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kaukatakan, mengapa perbuatanku tadi kaukatakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kaujelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. "PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kauanggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?" Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman." "Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan".
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?" Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?" Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya. "Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, sipakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat".
Bersambung Jilid ke-37
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kaumainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kaukehendaki? Tentu bukan kemenangan uang." Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dariapada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga. "Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kauterima?"
Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kaudapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kaubayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kaubawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya kai-ong".
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!" Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri. Koai- tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!" Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana- sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!.
Pangcu, apa kau masih hendak berkeras? Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin- kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!" Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu? Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...." Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak arti baginya dan karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba...
"wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih." Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-aakan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus. Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka penderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!" tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san. "Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya.
Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu. "Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kaukatakan, mengapa perbuatanku tadi kaukatakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
"Diri sendiri melakukan kejahatanKwee Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?"
Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kaujelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. "PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kauanggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna membutakan mataBu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?" Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman." "Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan".
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?" Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?" Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya. "Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, sipakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat".
Bersambung Jilid ke-37
Posting Komentar