Suling Emas Jilid 37

Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.

"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"

"Eh, kenapa?"

"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"

"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."

"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?".

"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"

"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."

Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.

"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut ke mana pun aku pergi."

Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"

Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.

"Anak baik, muridku yang baik....!" Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!

"Bu Song, kautunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu. Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya belajar "terbang" seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti. Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!

Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata.

"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar menjemukan!"

Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.

"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkirbalikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."

Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.

"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"

"Mengapa tidak berani, Suhu?" "Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu "menghilang". Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!

Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki Gunung Tapie-san.

Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dai batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.

Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana seoarang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?

Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang. Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah pintu kemusian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan tuan depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!

Kim-mo Taisu melangkah masuk dan sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi! Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, raja pengemis itu masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biarpun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.

Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal - tambalan, Kim-mo Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.

"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang puny rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"

Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"

Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-Yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-Yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya. Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak,

"ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan perantaraan burung dara itu ke tempat ini.

"Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau bicara dengannya!"

"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan Kai-ong?"

"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian pengemis-pengemis palsu."

"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"

Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat maupun senjata. Melihat bentuk pentung ini ketiganya serua, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti). Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?" "Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"

Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda." Kata kakek pertama yang paling tua, "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakana terus terang saja apa maksudmu mencari Kai-ong?"

"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"

"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami." Jawab pengemis itu cepat-cepat. Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu terntu merasa tidak sendang sekali dengan "pekerjaan" mereka akan tetapi agaknya terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.

"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun, aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian bertiga minggir!"

Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu depan rumah gedung.

"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras ketika mereka menggerakan tongkat menyerang. Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar menghadang di depan!

"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam lambung. Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung kedua tongkat, mengerahkan lwee-kang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang terpegang lawan, sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!

Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali, ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus serangan ini, maka ia cepat menggunakan gin-kangnya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri, kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat dan "Lepas....!!" Teriaknya sambil mengerahkan sin-kang, sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.

Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka! Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.

"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung. Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang berdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu. Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.

"Orang muda, biarpun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku siapakah engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong!"

Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki gedung. Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang Kim-mo Taisu!

Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini. Kedua tangannya digerakkan, dengan ilmu tankapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang berbeda sungguhpun kerja sama mereka tetap baik. Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!

Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justeru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah. Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permaianan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya barisan biasa saja setelah terdapat rahasia sumbernya.

“Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha!" sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai "bekerja", tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat. Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani lagi turun!

Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, mampu menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.

"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"

"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"

Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.

"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!"

Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung! "Twa-suheng...!" Dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.

Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu. "Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.

Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seoarang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan. Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi.

Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.

"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu." Wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.

"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat daripada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau mau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!".

Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini, ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!

Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"

erdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa "tamu agung" itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu. Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata.

"Silahkan Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."

Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!

"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi. Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.

Bersambung Jilid ke-38

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009