Suling Emas Jilid 38

Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan. Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak meimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Adapun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.

Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.

"Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut Si Cantik. Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata.

"Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."

"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.

Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit.

"Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.

"Benar tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"

Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah, "Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"

"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.

"Aduhhh...! Aduhhh...!!" Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang- tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.

"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" Perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan. "Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis itu penuh ejekan.

Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi. Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang disukainya.

Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati. Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.

Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi. Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, daripada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biarpun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir "suaminya" begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.

Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka memandang, mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."

"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya. "Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!" Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok berisi penuh arak itu melayang cepat sekali seperti peluru tanpa araknya tumpah sedikit pun, menuju ke arah dada Kim-mo Taisu.

Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya dan begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sin-kang yang hebat. Di lain fihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan keduanya. Hebat Kim-mo Taisu ini, pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.

Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.

"Tinggg!!" Mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.

"Brakkk!!" Mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan! "Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau. Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lwee-kang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya duduk.

“Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan duduk!"

Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis itu, kemudian ia menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."

Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu, ia letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah hawa sin-kang yang bukan main tingginya!

"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada tamunya.

Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sin-kang yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jerih, baginya demonstarasi itu hanyalah permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil mengerahkan sin-kangnya.

Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!

"Terima kasih, sayang arakmu dingin." Kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin dari tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.

Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang membawamu datang mencari aku?"

Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"

Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lwee-kang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja, hanya terpisah sebuah meja. Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan meletakkan guci arak di atas meja.

"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."

"Aaahhhh....!" Wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu, kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat. Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu denganku, apa yang kau kehendaki?"

"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan puterinya itu, kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!" Pouw Kee Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan, inilah isteriku yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"

"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran. "Moi-moi kekasihku, kaukatakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"

Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"

Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!

Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui! Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di luar!"

Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya, akan tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan kecerdikan otaknya. Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sin-kang dari manusia sinting ini.

Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar. "Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi kau melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"

Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!" Setelah melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!

“Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.

Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.

"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."

Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih. "Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang..." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh. Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.

"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."

Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu, kaubiarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kautunggangi jangan lepaskan sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya."

Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk. Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang naga". Inilah inti pelajaran ilmu bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi.

Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi. Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersamadhi, sungguhpun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!

"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.

"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."

"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"

"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."

Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.

"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kaulakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."

"Baiklah, Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh. Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon! Untung baginya, Pohon itu tidak terlalu tinggi, juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit.

Betapapun ia menahan dan menutupi telingan dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti jantungnya ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasihat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.

Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri "menunggang naga" seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil "tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mujijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!

Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mujijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.

Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut di atas punggung keledai, hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung.

Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon, kakek itu mengeluarkan seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan kelenengannya di depan Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang yang duduk bersila itu masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biarpun bunyi kelenengan itu sebetulnya dapat merobohkan lawan tangguh!

Bersambung Jilid ke-39

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009