Suling Emas Jilid 39

Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Makin tua kau makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"

Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang lebih teliti orang yang duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan, tubuhnya tegap rambutnya riap-riapan mukanya terselimut awan kedukaan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakenya telanjang.

"Kau mengenal aku?"

"Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!" Kim-mo Taisu melompat berdiri.

"Hehh....?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" Kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala sampai ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.

"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu."

"Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu....?" Kakek itu lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak.

"Siapa akan mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang..."

"Seorang jembel busuk!"

"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk disampingmu bersiulian di bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada penjahat secara menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di dasar jurang."

"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin membiarkan tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Kakek itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh, apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"

Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.

"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia menjadi isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan bahwa dia meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat sambil mencuri kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas daripadanya."

Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku bahagia karena terlepas daripadanya, bukankah kau juga sudah terlepas daripadanya? Bukankah dengan demikian kita sama-sama menjadi orang bahagia?" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan dan di dalam hatinya, kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara tawa itu. Maka ia pun tertawa dan berkata.

"Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan tua, tunangan dan ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini, tunggu... aku membawa arak baik!" Kakek itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas pelana, menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan kecocokan watak mereka mendatangkan kegembiraan sementara.

Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan mendengar percakapan mereka. Anak ini Bu Song dan mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong, wajahnya berubah. Kiranya orang tua itu adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya tentang kakeknya, Ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya berada di sini, kalau mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan! Menurutkan kata hatinya Bu Song sudah ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi ia teringat akan gurunya yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel, dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berindap-indap sambil menoleh memandang kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa, pergi dari tempat itu. Dua butir air mata menghias pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi. Bu Song lalu pergi secepatnya.

Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke bawah lalu berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"

Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah. "Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini? Kau tahu bahwa aku takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur denganmu. Tidak ada alasan bagiku maupun bagimu untuk saling serang."

"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah, sekarang tiba saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang membuatmu menjadi seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan!"

Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang kaukira. Aku tidak mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat buruk, dahulu maupun sekarang Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak suka bermusuhan denganmu."

"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahun-tahun aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku, sebaliknya akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"

Berkerut alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini lagi. Katakan, aku berhutang apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."

"Ha-ha-ha, kau masih berpura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara engkau dahulu menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak mau menjadi suaminya maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andaikata dahulu kau suka memperisteri dia, tentu kita semua akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"

Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu Sian, akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku terus terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya. Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka Bumi saja ia sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu merobohkan kakek sakti ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang tangguh sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat baik.

Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah, aku sudah siap, kau mulailah!"

Wajah kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau waspadalah!" Tiba-tiba ia berteriak keras sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, jubahnya yang leber itu berkibar mendatangkan angin yang dahsyat.

Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali dan seandainya ia tidak mengalami latihan luar biasa di Neraka Bumi, oleh daya pekik ini saja ia tentu sudah kendor semangat. Cepat ia menggeser kakinya miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya dengan bantingan lengan dan tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main karena ia telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).

"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!" Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa didahului angin pukulan akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia pun mengelak sambil melompat ke kanan.

"Bagus, kau hebat!" katanya sambil menerjang lagi. Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan sukar dibedakan.

Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang lengan sudah terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu selain kagum juga mulai bosan dan kuatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin dilukai, akan tetapi ia mengenal pula tabiat Pat-jiu Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja. Pada saat Kim-mo Taisu memutar otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng sambil merendahkan tubuh, kedua kaki ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.

Jangan disangka ringan pukulan Ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah berjongkok itu dalam posisi pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang meluncur keluar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, dalam jarak lima meter, Ketua Beng-kauw ini sanggup merobohkan sebatang pohon hanya dengan hawa pukulannya. Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga kitab rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan beng - kong - tong - tee ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama sebagai lambang daripada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin. Jurus ini demikian hebat dan gemilang seakan-akan Agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian saja dari tenaga sin-kangnya.

Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh, maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan dengan kaki terpentang kokoh dan kuat dan kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia juga mengerahkan sin-kangnya untuk melawan keras sama keras.

"Wuuuttt! Dess...!!" Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main pertemuan dua tenaga sin-kang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter jauhnya. Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur keluar sedikit darah segar. Untung bagi Ketua Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak daripada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.

"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" Kata-kata ini diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang lawan yang dapat menandinginya.

Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu. "Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh daripadamu di puncak ini besok. Lain kali saja kita lanjutkan."

Biarpun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih tangguh daripadanya, ia menjadi penasaran sekali. "Hemm, siapakah dia yang kaukatakan lebih tangguh daripada aku?"

Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar Si Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di empat penjuru."

"Hemm, hemm ada kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di punggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.

Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Bukan urusannya semua itu, namun sukar baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.

"Bu Song!" Ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel, ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu pergi? Dan ke mana perginya? "Bu Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya.

Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya, meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan,
namun bersih dan cukup luas.

Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.

"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi?

"Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan." Katanya sambil menjura dengan hormat.

Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan mengemis makanan?"

Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula. "Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan, sudahlah!" Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.

"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."

Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.

"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini." "Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"

Di bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.

"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur Si Tanpa Baju kepada kakek pertama.

"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"

Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang. "Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"

Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!

"Kaumakanlah dan ambil sendiri di atas meja itu." Kata Si Nenek tak acuh. Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya.

Lezat benar masakan itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal setengahnya lagi!

"Ho-ho-ha-ha-hah!" Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.

"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula." Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!" Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.

Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song keluar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa keluar."

Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.

"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air." Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih. "Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Mereka berjalan keluar.

Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.

"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga. A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua, "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah. "Siapa namamu?"

"Nama saya Bu Song, Kek."

"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir telinga Bu Song.

"Kau harus sebut Ong-ya!"

Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!

"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"

"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."

"Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting."

"Baiklah, Ong-ya." Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.

"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.

Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.

Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."

Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.

Bersambung Jilid ke-40

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009