Suling Emas Jilid 49

Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kaukira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda malapetaka. Andaikata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada seseorang?"

"Memang betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya. "Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga..."

"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kaukira aku dapar melepasmu begitu saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."

Gin Lin memegang lengan tangan suaminya dan matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu, "Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali..." mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian. Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampi mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.

"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"

"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin payah..."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Merah wajah isterinya ketika menjawab, "Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi menyelidik ke kota raja...."

Kwee Seng terkejut. Hemmm, kiranya isterinya ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ, kedua kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang dipegangnya, menggantikan kedua kaki untuk berdiri.

"Paman...!" Gin Lin berseru girang.

"Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.

Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata, "Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."

"Tentu saja boleh, silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."

"Tidak disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu
hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"

“Paman! Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget.

"Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?"

"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanlah, bantulah..." Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!

"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!"

Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata, "Kim-mo Taisu, kali ini kau benar-benar membutuhkan bantuanmu."

"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"

"Duduklah di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."

Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.

"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa malapetaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para pemberontak."

Kwee Seng mengangguk.

"Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"

"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng sejujurnya.

"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan malapetaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"

"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"

"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapapun juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah. Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"

"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian, karena dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itupun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Adapun tentang membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."

Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan. Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis baru yang jahat. Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi..."

"Ahh...?" Tanpa disadarinya Kwee Seng berseru kaget.

"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siau-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam. Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.

"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"

"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi mereka?"

"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan..."

Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong..

"Celaka....!" Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.

"Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas.

Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan... "blessss...!" Ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng menggerang, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.

"Krakk!!!" Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!

"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya.

Gin Lin membuka matanya dan tersenyum! "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suamnya, mencium pipinya.. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... song..." Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.

"Lin-moi...!" Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!

"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"

Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning d Laut Po-hai.

"Aku akan mencari mereka..." seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!"

Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk."Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!"

Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan...

"Ayah...??" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.

"Ibu...??!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya. Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.

Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu, Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya. Hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata. "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"

Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya."

Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"

Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"

Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja Suhu, teecu mencinta Adik Eng Eng."

"Mencinta seperti adik kandung?"

"Benar, Suhu."

"Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."

Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?"

Kim-mo Taisu memegang pundak wajahnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"

Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..."

“Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti mendiang ibunya.

Bu Song mengangguk. "Memang teecu.... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku..."

"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"

Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."

Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku."

"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja..."

Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu, ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya.

"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?"

Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."

Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat.

"Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur! Jangan bohong."

"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana."

"Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"

Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri. "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"

Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.

"Eng-moi...!" Ia memanggil lirih.

Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri..." tangisnya makin menjadi.

Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-,oi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini..."

"Song-koko...!" Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya. Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.

"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."

Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.

"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu. Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biarpun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.

"Song-koko... apa yang kaulakukan tadi...??"

"... apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."

"Engkau nakal!"

“Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.

"Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.

"Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku..." Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu.

"Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?"

Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!

"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."

"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"

“Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."

"Kau bohong!"

"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri. Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.

"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"

"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" Akan tetapi suaranya ketus.

"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."

"Kau janji dulu!"

"Janji apa?"

"Lain kali mau cium, harus bilang."

Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"

"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."

Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"

Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki gin-kang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara.

Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung. Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan Ibu Gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.

Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia.

Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.

"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?"

"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kaulihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"

Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"

"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita berpisah biarpun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!"

Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.

Bersambung Jilid ke-50

About this entry

Fallow me

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2009